Hajar Aswad Berasal Dari Batuan Meteor ?
Dalam beberapa pekan ini kita akan kedatangan para jamaah haji yang baru pulang dari Ibadah haji di Makkah. Tentusaja ada cerita tentang Air Zam-zam juga ada cerita Hajar Aswad yang berupa batu hitam itu.
Nah, berbicara soal batu tentunya sebagai ahli batu akan tertarik untuk melihat, jenis batu apakah Hajar Aswad ini ?
Pak Lik Marufin yang senang sekali dengan dunia langitan, atau dunia langit juga ikuta menuliskan tentang batu ini. Karena banyak cerita dibalik batu hitam Hajar Aswad ini sebagai batuan meteorit. Benarkah ?
“Tapi apapun yang ada di dunia ini kan dari Yang Maha Kuasa yang ada diatas sana kan, Pakde ?
“Tuhan yang maha kuasa tentunya tidak harus diatas sana kan, Thole. Tuhan ada dimana-mana termasuk dihati kita”
Barangkali tak ada sebutir batu yang paling banyak dihormati dan dicium umat manusia selain Hajar Aswad. Berdiri tegak di pojok tenggara Ka’bah, batu ini senantiasa menarik perhatian umat manusia yang berthawaf di Ka’bah baik dalam rangka menunaikan ibadah haji atau umrah. Bersamaan dengan itu menarik pula untuk mencermati darimana asal batu hitam ini.
Paklik Marufin memulai dongengannya tentang Hajar Aswad atau Batu Hitam atau Black Stone dibawah ini,
Dahulu Hajar Aswad berupa batuan utuh yang diperkirakan berukuran 30 cm. Kini merupakan 15 pecahan yang ditanam dalam sebuah matriks semen sebagai pengikatnya, yang dilakukan pada masa restorasi al-Utsmani tahun 1631. Dari 15 pecahan, hanya 8 yang nampak di permukaan matrik. Matriks semen selanjutnya dilindungi dengan lingkaran perak, kebiasaan sejak zaman Abdullah ibn Zubair di akhir kekhalifahan Khulafaur Rasyidin.
Prior-Hey, seorang geolog, pada tahun 1953 mempublikasikan Catalog of Meteorites yang telah bertahun disusunnya. Hajar Aswad oleh Prior-Hey dianggap merupakan batu meteor (meteorit) sehingga turut dimasukkan ke dalam katalognya. Anggapan Prior-Hey rupanya berasal dari pendapat Kahn, seorang geolog lainnya, yang pada tahun 1936 memang berpendapat Hajar Aswad adalah meteorit aerolit, yakni meteorit yang tersusun oleh senyawa-senyawa penyusun batuan dan tidak didominasi oleh Besi dan Nikel yang berlimpah sebagaimana halnya meteorit besi (siderit). Sejak itu anggapan bahwa Hajar Aswad merupakan batu meteor terpatri dalam benak publik. Seorang Agus Mustofa misalnya, dalam bukunya yang terkenal “Pusaran Energi Ka’bah” mendukung ide Hajar Aswad sebagai meteorit lewat jalan yang, menurut Paklik Marufin, agak aneh yakni dengan mendasarkan terjadinya peristiwa sambaran petir terhadap Ka’bah tatkala Makkah diguyur hujan rintik-rintik pada suatu musim haji. Agus Mustofa meyakini petir menyambar Ka’bah, bukan bangunan lainnya yang lebih tinggi, karena konduktivitas Hajar Aswad yang disebabkan oleh berlebihnya kandungan Besi didalamnya.
“Lah memangnya kandungan besinya seberapa bisa menarik sambaran petir ya , Pakde?
Sebenarnya sangat sulit memahamkan Hajar Aswad sebagai meteorit. Beberapa sifat dasar Hajar Aswad, seperti diketahui pada tahun 950 saat Gubernur Makkah Abdullah ibn Akim menguji batu-batu yang diduga Hajar Aswad yang dicuri sekte Ismailiyah Qaramithah 22 tahun sebelumnya, adalah terapung di air dan tidak pecah/terpanaskan meskipun dibakar di nyala api. Terapung di air menandakan densitas (massa jenis) Hajar Aswad lebih kecil dibanding densitas air, sehingga densitas Hajar Aswad kurang dari 1 gram/cc. Sementara tidak terpanaskan tatkala dibakar menunjukkan konduktivitas termal Hajar Aswad rendah dan tidak pecah akibat panas menunjukkan kekuatannya (daya ikat antar penyusunnya) cukup tinggi. Sifat lainnya, sebagaimana dipaparkan geolog Farouk el-Baz tatkala menunaikan ibadah haji, adalah tingkat kekerasannya yang tinggi (minimal skala Mohs 7 atau setara batu permata). Sifat lainnya lagi adalah warnanya yang putih susu, sebagaimana dipaparkan sejarawan Muhammad ibn Nafi al Khaza’i yang menyaksikan langsung kondisi Hajar Aswad menjelang restorasi Sultan Murad al-Utsmani di tahun 1631.
“Looh Pakdhe. Batu Hajar Aswad itu pernah dicuri ya Pakdhe ?”
“Hajar al-Aswad itu memang diceritakan sejarawan pernah dicuri dari Ka’bah sekitar 930 Masehi oleh prajurit Qarmatian yang merupakan sekte Syiah Ismaeeli. Mereka menguasai Mekah, menodai Sumur Zamzam dengan mayat Muslim dan membawa Hajar Aswad pergi ke basis mereka di Ihsaa, di Bahrain abad pertengahan. Menurut sejarawan al-Juwaini, batu itu dikembalikan di sekitar 952 CE dan dikembalikan ke lokasi semula.
Sementara meteorit yang ditemukan di Bumi, selalu memiliki densitas lebih dari 1 gram/cc. Meteorit batuan memiliki densitas antara 2 – 4 gram/cc, sementara meteorit besi jauh lebih besar yakni 7,8 gram/cc. Termasuk ke dalam meteorit batu misalnya meteorit palasit, yang unik karena tersusun dari kumpulan kristal berwarna putih susu dan jarang dijumpai. Densitas meteorit yang terkecil yang pernah ditemukan adalah 1,8 gram/cc yakni dari meteorit Tagish Lake yang jatuh di Kanada pada 18 Januari 2000. Tidak ada meteorit yang memiliki densitas lebih kecil dari 1 gram/cc. Selain itu, ketahanan dan kekerasan meteorit berbanding lurus dengan densitasnya. Sehingga jika Hajar Aswad adalah meteorit, dengan kekerasan Mohs 7 maka setidaknya ia harus memiliki densitas di atas 5 gram/cc, satu hal yang tak nyata karena di sisi lain akan menyebabkannya tenggelam ketika ditaruh di air.
Dugaan meteorit pallasit
Meteorit Pallasit
Di sebelah kanan ini adalah meteorit pallasit, meteorit batuan yang mengandung butiran-butiran olivine, yang beberapa diantaranya berwarna putih susu dan beberapa lainnya relatif tembus cahaya. Hajar Aswad semula dikira mineral olivine monolitik dalam meteorit palasit. Namun ciri-ciri keduanya sangat berbeda.
Pengamatan fotografis memang menunjukkan ada jenis meteor yang memiliki densitas lebih kecil dari 1 gram/cc, yakni meteor-meteor yang berasal dari remah-remah komet, yakni meteor yang tergabung dalam hujan meteor periodik. Ini juga ditunjang hasil pengamatan wahana antariksa terhadap komet tertentu seperti komet Halley, Borrely, Wild dan Tempel-1 yang semuanya menunjukkan bahwa densitas komet lebih kecil dari 1 gram/cc. Namun meteor-meteor periodik ini tak pernah bisa menyisakan meteorit karena senantiasa habis terbakar di atmosfer Bumi. Dan dengan sifat komet yang rapuh, yang tersusun dari gumpalan debu-debu sehalus bedak, merupakan sifat yang sangat berkebalikan dengan Hajar Aswad. Karena itu gagasan Hajar Aswad sebagai meteorit mendapat tantangan dari segenap penjuru mengingat sifat-sifat kedua benda tersebut saling berkebalikan satu sama lain.
Ide Hajar Aswad sebagai meteorit, terakhir kali diangkat Elsebeth Thomsen, seorang geolog dan palentolog Swedia pada tahun 1980. Kali ini Thomsen menggunakan pendekatan tak langsung, yakni dengan menegakkan dugaan bahwa Hajar Aswad kemungkinan besar merupakan batuan yang dibentuk akibat suatu proses tumbukan benda langit, yakni proses jatuhnya meteorit besar (boloid) dengan kecepatan yang sangat tinggi sehingga diikuti pelepasan energi kinetik yang sangat besar sehingga menyamai kuantitas energi yang dilepaskan dalam peristiwa ledakan nuklir.
Dugaan sebagai impactit (batuan metamorfik tingkat tinggi)
Dibanding gagasan sebelumnya, hipotesis Thomsen menawarkan sesuatu yang lebih menarik. Thomsen secara tegas menunjuk Hajar Aswad sebagai sejenis impaktit, yaitu batuan metamorfik tingkat tinggi yang hanya bisa dihasilkan akibat tumbukan boloid di sedimen pasir lepas seperti terdapat di padang pasir. Ketika sebuah tumbukan benda langit terjadi, gelombang kejut yang dihasilkannya mampu melelehkan silika dalam pasir dan mencampurnya dengan material boloid menjadi lelehan mirip lava yang khas, namun hanya berlangsung hingga jarak tertentu dari titik tumbuk. Di luar jarak tersebut, gelombang kejut hanya mampu menekan dan memampatkan butir-butir pasir demikian padat hingga menjadi bongkah-bongkah mirip batupasir. Di padang pasir ar-Rub’ al-Khali alias Empty Quarter yang membentang di bagian selatan Jazirah Arabia, memang dijumpai sebuah struktur kawah tumbukan, yakni Struktur Wabar, yang berada di wilayah al-Hadida pada jarak 550 km di sebelah tenggara kota Riyadh, ibukota Saudi Arabia.
“Pakde, batuan metamorfik itu apa ?”
“Thole, kita kan mengenal ada tiga jenis batuan. Batuan Sedimen yaitu hasil pengendapan material yang terbawa angin, air maupun es, juga ada Batuan Beku yang berasal dari pembekuan magma, dan ada Batuan Metamorf atau batuan malihan yang merupakan batu hasil perubahan akibat temperatur dan tekanan tinggi.
Impaktit dijumpai di Struktur Wabar sebagai bongkahan berwarna putih susu yang beberapa diantaranya berongga-rongga sehingga bisa mengapung di air selayaknya batu apung (pumice). Sejumlah impaktit ditemukan terselaputi lapisan tipis kehitaman mengkilap yang sejatinya merupakan campuran lelehan silika dengan material boloid. Uji penanggalan (dating) dengan metode fission-track terhadap sampel impaktit yang tersimpan di British Museum dan Smithsonian Institution, hasil ekspedisi 1932, oleh Storzer dan Wagner di tahun 1977 menghasilkan irisan waktu menggetarkan : impaktit tersebut terbentuk 64 abad silam. Ini melampaui waktu pembangunan kembali Ka’bah (dan juga peletakan Hajar Aswad) oleh Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS, yang dalam konteks sejarah diletakkan terjadi pada 40 abad silam. Ketika sifatnya sama dan umurnya lebih tua dari waktu pembangunan Ka’bah, akankah Hajar Aswad sesungguhnya adalah impaktit Wabar ?
Lokasi Wabar Crater Arabia
Struktur Wabar memiliki luas 1.000 x 500 meter persegi yang terdiri dari 3 buah kawah, masing-masing berdiameter 116 m, 64 m dan 11 m. Struktur Wabar terbentuk ketika sebuah boloid besi (tersusun oleh 90 % Besi dan 4 % Nikel) seberat 3.170 ton jatuh menghantam pada kecepatan 5-7 km/detik hingga melepaskan energi setara 10 kiloton TNT atau separuh energi ledakan bom Hiroshima. Wabar adalah 1 dari 17 struktur tumbukan yang masih menyisakan boloid pembentuknya, di antara lebih dari 170 struktur yang telah disahihkan sebagai struktur tumbukan berdasarkan investigasi geologi. Wabar pertama kali dikunjungi manusia dalam ekspedisi Harry St. John “Abdullah” Philby tahun 1932. Di tahun 1965, para geolog ARAMCO (perusahaan minyak patungan AS dan Saudi Arabia) mengunjungi lokasi ini dan berhasil mengangkat sisa boloid Wabar seberat 2,2 ton yang kemudian disimpan di King Saud University, Riyadh.
Namun survei geologi mendetail belum pernah dilaksanakan sebelum tahun 1994, tatkala geolog legendaris Eugene M. Shoemaker melaksanakan 3 investigasi komprehensif terhadap Struktur Wabar. Selain berhasil mengungkap morfologinya, struktur geologinya dan proses pembentukan kenampakan-kenampakan unik di dalam struktur, Shoemaker juga melakukan penanggalan dengan metode termoluminesens yang hasilnya tak kalah mencengangkan : Struktur Wabar terbentuk kurang dari 4,5 abad silam, bukan 64 abad silam.
Kesimpulan ini didukung dari analisis kuantitatif terpisah yang dikerjakan pakar gurun pasir terhadap kecepatan penimbunan kawah-kawah di Wabar oleh pasir. Setelah sempat diduga Struktur Wabar terbentuk ketika muncul fenomena fireball Nejed pada tahun 1863 dan 1891, analisis lebih lanjut yang lebih hati-hati akhirnya menyimpulkan Struktur Wabar terbentuk di kala senja 9 Januari 1704 alias 3 abad silam. Tumbukan benda langit yang membentuk Struktur Wabar demikian dahsyatnya sehingga suara dentumannya terdengar ke seluruh penjuru Jazirah Arabia, satu fenomena tak biasa yang dicatat penyair-penyair Arab dalam puisi-puisinya.
Umurnya tidak klop.
Dan akhirnya, hipotesis Thomsen pun rontok dengan sendirinya setelah diketahui bahwa Struktur Wabar berusia 3 abad, jauh lebih muda ketimbang masa pembangunan Ka’bah 40 abad silam. Paklik Marufin meyakini jelas bahwa Hajar Aswad bukanlah meteorit, juga bukanlah impaktit. Sehingga kita bisa mencoret Hajar Aswad dari katalog meteorit. Lantas darimana asal Hajar Aswad itu sebenarnya? Inilah pertanyaan yang tetap menggelitik dalam perspektif ilmu pengetahuan terkini.
Nah begitulah pengetahuan tentang Hajar Aswad dari sisi keilmuan tentang batu-batuan yang dikisahkan oleh PakLik Marufin. Memang bukan menyimpulkan batuan apakah Hajar Aswad itu. Namun dengan mempelajari batuan inipun kita akan mendapatkan manfaat yang sangat banyak berupa pengetahuan yang jauh berharga dari sekedar meyakininya saja. keyakinan yang terus dikembangkan selalu saja mendapatkan manfaat.
Referensi :
- Wynn & Shoemaker. 1998. The Day The Sands Caught Fire. Scientific American November 1998 : 65-71.
- Thomsen. 1980. New Light On The Origin of The Holy Black Stone of The Ka’ba. Meteoritics 15 no. 1 (1980) : 87-91.
Sumber : http://rovicky.wordpress.com/, 18 November 2011.
Komentar
Posting Komentar