Menyoal Batas Usia Perolehan Ijin Mengemudi.
Kecelakaan kendaraan bermotor yang melibatkan anak selebriti yang mengemudikan mobil dan belum memiliki SIM (Minggu, 8 September 2013) merupakan salah satu puncak dari ironi keselamatan lalulintas di Indonesia. Sebelumnya kita mengetahui pula pengemudi metromini yang menabrak pengguna jalan. Selain itu, kasus rem yang gagal-fungsi (baca: rem blong) bis Giri Indah juga menjadi catatan penting bagi sistem tata kelola uji laik jalan dan kompetensi pengemudi angkutan umum.
Kita kembali menengok kasus kecelakaan di Jagorawi yang melibatkan anak usia 13 tahun yang mengemudikan mobil dan menjadi penyebab hilangnya nyawa orang lain. Enam orang meninggal, dan sepuluh orang luka berat dan ringan. Lepas dari aturan mengenai batas usia minimum mengemudi kendaraan (“driving age limit”), saya akan memulainya dengan mencari referensi internasional dan membahasnya dari sisi tersebut.
Secara internasional, batas usia untuk bisa mengemudi sangatlah bervariasi. Di USA beberapa Negara bagian menerapkan usia 14 tahun, sementara sebagian besar Negara-negara di dunia menggunakan usia 17-18 tahun. Apa makna batas usia tersebut? Apakah semua anak dan remaja yang telah masuk dalam batas usia tersebut berhak dinyatakan mampu atau cakap (“able”) mengemudi kendaraan? Pemahaman ini penting sebelum masuk pada aturan mengenai syarat usia perolehan SIM. Kita menyadari betul bahwa di Indonesia, hampir semua orang yang telah masuk usia SIM berusaha memperoleh ijin mengemudi. Faktanya juga adalah bahwa mereka yang mengajukan permohonan perolehan SIM, sebagian besar atau kalau tidak seluruhnya mendapatkan SIM.
Sebagian diantara kita, baik remaja pra-usia SIM dan orang tua, memberikan pembenaran untuk memperoleh SIM sebelum waktunya. Ada yang mengatakan bahwa tidak ada alternatif angkutan umum yang tersedia bagi mereka. Ada pula yang menyampaikan bahwa tidak mungkin orang tua mengantar karena kesibukan mereka sehari-hari. Disamping itu, ada pula yang merasa malu karena harus kemana-mana diantar orang tua mereka. Tekanan “peer group” juga membuat remaja seringkali mendesak orang tua mereka untuk melanggar batas usia perolehan SIM, memalsu KTP dan kartu keluarga, dan bahkan meminta pada petugas kepolisian untuk memperoleh SIM tanpa melakukan ujian teori dan praktek.
Meskipun dalam beberapa tahun terakhir ini, proses perolehan SIM telah membaik dari sisi administrasi, substansi perolehan SIM sebagai proses mengenali “kecakapan” mengemudi masih belum memenuhi harapan. Masih saja terdapat kasus perolehan SIM kolektif, umumnya melalui sekolah. Ada pula yang masih diijinkan memperoleh SIM tanpa ujian praktek. UU 22/2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan membuka peluang perolehan SIM dengan ujian ketrampilan dengan menggunakan simulator. Saya sendiri kurang sependapat bahwa teknologi simulator saat ini bisa menggantikan kecakapan lapangan.
Jerman adalah Negara yang paling keras menerapkan aturan kecakapan mengemudi. Cukup banyak dari mereka yang memohon ijin perolehan “driving license” atau “Fuehrerschein” hingga meninggal, tidak berhak mengemudi karena memiliki resiko membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Disamping biayanya juga tidak murah hingga mencapai 1.000 – 2.000 Euro termasuk biaya wajib belajar mengemudi (“Sonderfahrt”), jarang sekali yang ujian langsung lulus, dan itu berarti harus membayar kembali biaya perolehan SIM. Jelaslah, pemerintah Jerman memandang bahwa keselamatan lalulintas adalah masalah yang sangat serius dan menjadi perhatian semua pihak. Sementara Negara-negara lain menangani masalah SIM ini secara sungguh-sungguh sebagai upaya disisi hulu (“upstream”) pencegahan terjadinya kecelakaan lalulintas, perolehan SIM di Indonesia dilakukan dalam prinsip “pro-forma” dan merupakan proses administrasi, bukan substansi.
Kembali ke kasus kita. Jelaslah bahwa soal kematangan dan kecakapan mengemudi memiliki argumentasi yang cukup mendasar bagi upaya keselamatan diri dan orang lain di jalan. Usia 17 tahun sebagai usia minimum seseorang berhak diuji kecakapan perolehan SIM merupakan hasil kajian mendalam banyak ahli keselamatan dunia. Bahkan pakar keselamatan dari WHO telah mengusulkan ke pemerintah Indonesia untuk menaikkan batas usia hingga 18 tahun, dan pengetatan proses pemberian SIM. Hal ini semata untuk menekan jumlah korban meninggal dibawah angka 30.000 orang setiap tahunnya. Saya mengharapkan pihak Kepolisian memperlakukan kasus ini secara imparsial dan mengedepankan aspek jera bagi masyarakat pengguna kendaraan yang tidak mengikuti aturan yang berlaku, belum memenuhi persyaratan usia, dan belum mengikuti ketuntasan uji kecakapan mengemudi. Apakah orang tua terlibat atau harus bertanggung jawab dalam kasus ini? Barangkali pertanyaan ini harus dijawab dengan menggunakan instrumen hukum lain diantaranya UU 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sistem ini memungkinan diaplikasikannya konsep “restorative justice”.
Transportasi yang bermartabat diperoleh melalui penghargaan kita sendiri atas nyawa manusia. Pengemudi, pengguna jalan dan semua yang melakuan aktifitas perjalanan harus menghormati aturan yang telah dengan kerja keras bersama kita sepakati.
Penulis : Danang Parikesit, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia
Sumber :http://blog.tempointeraktif.com/, Senin, 09 September 2013.
Komentar
Posting Komentar