Candi Borobudur (Bukan) Peninggalan Nabi Sulaiman !
Pada postingan sebelumnya anda saya ajak untuk mencerna klaim isi buku yang menceritakan bahwa "Candi Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman" oleh K.H. Fahmi Basya. K.H. Fahmi Basya mengklaim mempunyai buktinya untuk membahas klaim tersebut. Untuk melihat klaim K.H. Fahmi Basya bisa melihat ringkasnya :
Artikel ini akan memuat bantahan teori Candi Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman tersebut dengan berdasar pada buku :
Bukan saya menjual buku, namun tujuan saya menyusun artikel ini adalah supaya kita bisa membedakan antara kebenaran iman/ agama/ keyakinan dengan kebenaran ilmiah berdasar ilmu pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan. Harapan saya semoga terbitnya buku semacam "Candi Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman" oleh K.H. Fahmi Basya ini tidak terulang lagi, mari kita junjung tinggi agama kita dengan tidak mencampuradukan dengan pemahaman ilmu pengetahuan yang sempit demi kepentingan kita sendiri.
1. Review Penerbit, Mengapa Buku ini diterbitkan ?
Ada beberapa kawan Muslim yang mempertanyakan hal itu kepada saya: “Dalam Islam tidak dikenal perintah untuk membuat patung makhluk hidup, apalagi untuk bersembah di depannya. Jadi, kenapa harus susah-susah menerbitkan buku tandingan atas teori Borobudur peninggalan Sulaiman?”
Demikian pula beberapa komentar dari kalangan akademik, utamanya sejarawan dan arkeolog. Mereka jelas-jelas paham bahwa patung-patung Buddha di Borobudur ciri-cirinya sangat gamblang; semuanya merujuk kepada Pertapa Siddharta dari India, tak beda dengan patung-patung Buddha di belahan dunia lainnya. Patung-patung itu bukanlah patung Nabi Sulaiman atau bidadara surga yang meniru model Nabi Sulaiman sebagaimana klaim KH. Fahmi Basya dalam bukunya.
Jawaban saya:
Buku ini memang tidak semestinya terbit jika buku KH. Fahmi Basya tidak bertahan di pasar. Seharusnya buku KH. Fahmi Basya “Borobudur & Peninggalan Nabi Sulaiman” ditarik dari peredaran karena itu bentuk pembodohan.
Sebuah produk yang berbahaya bagi konsumen, baik terkait fisik ataupun mental, sudah seharusnya ditarik dari peredaran. Karena otoritas-otoritas yang seharusnya bisa menarik peredaran buku itu tinggal diam, dengan tentu saja melakukan uji materi atas teori KH. Fahmi Basya sebelumnya, maka saya dari Penerbit Dolphins meminta Seno Panyadewa untuk menulis buku sanggahan atasnya. Jangan salah, korban-korban KH. Fahmi Basya tidak sedikit, mencapai ribuan, utamanya umat Islam. Tidak semua Muslim bisa berpikir logis seperti beberapa kawan Muslim yang mengajukan pertanyaan seperti di atas. Buku KH. Fahmi Basya yang ada di tangan saya adalah cetakan ke-5. Jika setiap cetakan 4 ribu eksemplar, maka kesesatan itu telah dibaca oleh hampir 20 ribu orang. Siapa yang harus bertanggung jawab? Inilah yang kami bisa lakukan. Semoga kehadiran buku ini bermanfaat bagi orang-orang yang membutuhkan klarifikasi terkait teori Borobudur peninggalan Nabi Sulaiman.
Tahun 2011 lalu saya pernah berbicara dengan seorang petugas di Museum Borobudur, Candi Borobudur. Setelah berbicara panjang-lebar, bapak tersebut mengungkapkan kekesalannya kepada pemerintah yang tidak memberikan izin terhadap pembangunan 5 wihara yang mengelilingi Borobudur. Dia juga kesal terhadap KH. Fahmi Basya yang mengklaim bahwa Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman. Si bapak juga sangat menyayangkan kenapa tidak ada pihak yang membantah dan meluruskan sejarah bahwa Borobudur bukanlah ciptaan Nabi Sulaiman.
Dia juga mengatakan bahwa pemerintah seperti tidak pernah serius merawat Borobudur, hingga suatu waktu UNESCO memberikan ancaman jika pemerintah tidak tegas dalam mengurus dan merawat Borobudur maka dana untuk perawatan Borobudur akan diberhentikan. Barulah kemudian pemerintah merasa takut dan mengambil sikap (yang lebih baik) terkait pemeliharaan Candi Borobudur. Konon, akan diberlakukan peraturan untuk pengunjung, yaitu mereka tidak diperbolehkan naik lagi ke Candi Borobudur. Bagi yang mau naik, mereka harus membayar mahal. Karena menurut mereka, yang berani membayar mahal jauh lebih menghargai candi tersebut daripada yang membayar murah.
Buku karangan Seno Panyadewa ini adalah tanggapan atas klaim Fahmi Basya tersebut. Ia mencatat bahwa teori ini muncul ke umum dimulai dari thread di kaskus pada tahun 2009, kemudian presentasi Fahmi Basya yang terserak diinternet pun dibahas dalam thread tandingan. Sayangnya migrasi kaskus ke sistem baru membuat diskusi ini sulit dilacak, namun justru pada 2012 Fahmi Basya menerbitkan bukunya.
Dari situlah Seno Panyadewa menyusun buku ini. Memang buku ini bukanlah penelitian primer dan hanya menggunakan sumber-sumber sekunder mengenai Borobudur. Namu7n sajian mengenai segi arkeologis, ikonografis, dan arsitektur yang dikumpulkan dan dirangkum penulis dalam buku ini amatlah apik sebagai pengetahuan umum mengenai Borobudur.
Tanggapan saya terhadap presentasi Fahmi Basya adalah bahwa argumen Fahmi Basya terasa dangkal dan tidak didukung pengetahuan luas mengenai studi-studi yang sudah ada tentang Borobudur, semua dianggap konspirasi untuk mengaburkan sejarah. Sebaliknya, dalam buku ini justru penulisnya tidak hanya membahas penelitian arkeologis dan Buddhisme namun juga membahas terjemahan Al-Quran yang digunakan Fahmi Basya janggal bila dibandingkan dengan terjemahan dari Departemen Agama. Ia juga memperlihatkan bagaimana Fahmi Basya justru bertentangan dengan tradisi Islam.
Pada akhirnya saya merasa bahwa merelakan uang untuk membeli buku ini tidaklah sia-sia. Mungkin jika anda punya kesempatan, pelajari sendiri berbagai hal tentang Borobudur dari sumber-sumber yang digunakan Seno Panyadewa.
Candi Borobudur semenjak lama diyakini sebagai peninggalan Dinasti Sailendra dari Kerajaan Mataram Kuno pada abad ke-8. Lalu ada seseorang bernama KH. Fahmi Basya yang mencetuskan sebuah teori bahwa Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman dan Indonesia adalah Negeri Saba. Ia mengklaim memiliki bukti-bukti ilmiah yang kuat untuk mendukung teorinya. Benarkah demikian?
Siapa pun pasti tidak asing dengan Candi Borobudur yang merupakan peninggalan agama Buddha terbesar yang diakui secara internasional. Namun klaim ini dipertanyakan ketika KH. Fahmi Basya menulis buku Borobudur & Peninggalan Nabi Sulaiman yang menyatakan teori terbaru bahwa Candi Borobudur sesungguhnya adalah karya Nabi Sulaiman yang dibangun oleh para jin dengan bukti-bukti yang didukung dari ayat-ayat Al-Quran. Teori Fahmi Basya ini sebenarnya tidak bisa dikatakan sebagai teori ilmiah, melainkan hanyalah suatu pseudoscience (ilmu pengetahuan semu).
Oleh sebab itu, tidak ada cendikiawan dan para ahli sejarah yang tertarik membuat buku bantahan terhadap teori ini. Berangkat dari hal inilah, Seno Panyadewa menyusun buku yang berjudul Misteri Borobudur dari berbagai sumber literatur baik yang berbentuk media cetak maupun yang tersedia online di Internet ini untuk membantah teori “Borodubur Adalah Peninggalan Nabi Sulaiman” (disingkat sebagai BAPNS dalam buku ini).
- Judul Buku : Misteri Borobudur, Candi Borobudur Bukan Peninggalan Nabi Sulaiman.
- Pengarang : Seno Panyadewa
- Tahun terbit : 2014
- Cetakan : I, September 2014
- Jumlah halaman : 249
- ISBN : 978-979-1701-17-4
- Penerbit : Dolphin (www.penerbitdolphin.com)
- Email : penerbitdolphin@yahoo.com
- Harga : Rp 60.000,- (256 hlm.)
Bukan saya menjual buku, namun tujuan saya menyusun artikel ini adalah supaya kita bisa membedakan antara kebenaran iman/ agama/ keyakinan dengan kebenaran ilmiah berdasar ilmu pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan. Harapan saya semoga terbitnya buku semacam "Candi Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman" oleh K.H. Fahmi Basya ini tidak terulang lagi, mari kita junjung tinggi agama kita dengan tidak mencampuradukan dengan pemahaman ilmu pengetahuan yang sempit demi kepentingan kita sendiri.
Ada beberapa kawan Muslim yang mempertanyakan hal itu kepada saya: “Dalam Islam tidak dikenal perintah untuk membuat patung makhluk hidup, apalagi untuk bersembah di depannya. Jadi, kenapa harus susah-susah menerbitkan buku tandingan atas teori Borobudur peninggalan Sulaiman?”
Demikian pula beberapa komentar dari kalangan akademik, utamanya sejarawan dan arkeolog. Mereka jelas-jelas paham bahwa patung-patung Buddha di Borobudur ciri-cirinya sangat gamblang; semuanya merujuk kepada Pertapa Siddharta dari India, tak beda dengan patung-patung Buddha di belahan dunia lainnya. Patung-patung itu bukanlah patung Nabi Sulaiman atau bidadara surga yang meniru model Nabi Sulaiman sebagaimana klaim KH. Fahmi Basya dalam bukunya.
Jawaban saya:
Buku ini memang tidak semestinya terbit jika buku KH. Fahmi Basya tidak bertahan di pasar. Seharusnya buku KH. Fahmi Basya “Borobudur & Peninggalan Nabi Sulaiman” ditarik dari peredaran karena itu bentuk pembodohan.
Sebuah produk yang berbahaya bagi konsumen, baik terkait fisik ataupun mental, sudah seharusnya ditarik dari peredaran. Karena otoritas-otoritas yang seharusnya bisa menarik peredaran buku itu tinggal diam, dengan tentu saja melakukan uji materi atas teori KH. Fahmi Basya sebelumnya, maka saya dari Penerbit Dolphins meminta Seno Panyadewa untuk menulis buku sanggahan atasnya. Jangan salah, korban-korban KH. Fahmi Basya tidak sedikit, mencapai ribuan, utamanya umat Islam. Tidak semua Muslim bisa berpikir logis seperti beberapa kawan Muslim yang mengajukan pertanyaan seperti di atas. Buku KH. Fahmi Basya yang ada di tangan saya adalah cetakan ke-5. Jika setiap cetakan 4 ribu eksemplar, maka kesesatan itu telah dibaca oleh hampir 20 ribu orang. Siapa yang harus bertanggung jawab? Inilah yang kami bisa lakukan. Semoga kehadiran buku ini bermanfaat bagi orang-orang yang membutuhkan klarifikasi terkait teori Borobudur peninggalan Nabi Sulaiman.
Tahun 2011 lalu saya pernah berbicara dengan seorang petugas di Museum Borobudur, Candi Borobudur. Setelah berbicara panjang-lebar, bapak tersebut mengungkapkan kekesalannya kepada pemerintah yang tidak memberikan izin terhadap pembangunan 5 wihara yang mengelilingi Borobudur. Dia juga kesal terhadap KH. Fahmi Basya yang mengklaim bahwa Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman. Si bapak juga sangat menyayangkan kenapa tidak ada pihak yang membantah dan meluruskan sejarah bahwa Borobudur bukanlah ciptaan Nabi Sulaiman.
Dia juga mengatakan bahwa pemerintah seperti tidak pernah serius merawat Borobudur, hingga suatu waktu UNESCO memberikan ancaman jika pemerintah tidak tegas dalam mengurus dan merawat Borobudur maka dana untuk perawatan Borobudur akan diberhentikan. Barulah kemudian pemerintah merasa takut dan mengambil sikap (yang lebih baik) terkait pemeliharaan Candi Borobudur. Konon, akan diberlakukan peraturan untuk pengunjung, yaitu mereka tidak diperbolehkan naik lagi ke Candi Borobudur. Bagi yang mau naik, mereka harus membayar mahal. Karena menurut mereka, yang berani membayar mahal jauh lebih menghargai candi tersebut daripada yang membayar murah.
Buku karangan Seno Panyadewa ini adalah tanggapan atas klaim Fahmi Basya tersebut. Ia mencatat bahwa teori ini muncul ke umum dimulai dari thread di kaskus pada tahun 2009, kemudian presentasi Fahmi Basya yang terserak diinternet pun dibahas dalam thread tandingan. Sayangnya migrasi kaskus ke sistem baru membuat diskusi ini sulit dilacak, namun justru pada 2012 Fahmi Basya menerbitkan bukunya.
Dari situlah Seno Panyadewa menyusun buku ini. Memang buku ini bukanlah penelitian primer dan hanya menggunakan sumber-sumber sekunder mengenai Borobudur. Namu7n sajian mengenai segi arkeologis, ikonografis, dan arsitektur yang dikumpulkan dan dirangkum penulis dalam buku ini amatlah apik sebagai pengetahuan umum mengenai Borobudur.
Tanggapan saya terhadap presentasi Fahmi Basya adalah bahwa argumen Fahmi Basya terasa dangkal dan tidak didukung pengetahuan luas mengenai studi-studi yang sudah ada tentang Borobudur, semua dianggap konspirasi untuk mengaburkan sejarah. Sebaliknya, dalam buku ini justru penulisnya tidak hanya membahas penelitian arkeologis dan Buddhisme namun juga membahas terjemahan Al-Quran yang digunakan Fahmi Basya janggal bila dibandingkan dengan terjemahan dari Departemen Agama. Ia juga memperlihatkan bagaimana Fahmi Basya justru bertentangan dengan tradisi Islam.
Pada akhirnya saya merasa bahwa merelakan uang untuk membeli buku ini tidaklah sia-sia. Mungkin jika anda punya kesempatan, pelajari sendiri berbagai hal tentang Borobudur dari sumber-sumber yang digunakan Seno Panyadewa.
Candi Borobudur semenjak lama diyakini sebagai peninggalan Dinasti Sailendra dari Kerajaan Mataram Kuno pada abad ke-8. Lalu ada seseorang bernama KH. Fahmi Basya yang mencetuskan sebuah teori bahwa Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman dan Indonesia adalah Negeri Saba. Ia mengklaim memiliki bukti-bukti ilmiah yang kuat untuk mendukung teorinya. Benarkah demikian?
Siapa pun pasti tidak asing dengan Candi Borobudur yang merupakan peninggalan agama Buddha terbesar yang diakui secara internasional. Namun klaim ini dipertanyakan ketika KH. Fahmi Basya menulis buku Borobudur & Peninggalan Nabi Sulaiman yang menyatakan teori terbaru bahwa Candi Borobudur sesungguhnya adalah karya Nabi Sulaiman yang dibangun oleh para jin dengan bukti-bukti yang didukung dari ayat-ayat Al-Quran. Teori Fahmi Basya ini sebenarnya tidak bisa dikatakan sebagai teori ilmiah, melainkan hanyalah suatu pseudoscience (ilmu pengetahuan semu).
Oleh sebab itu, tidak ada cendikiawan dan para ahli sejarah yang tertarik membuat buku bantahan terhadap teori ini. Berangkat dari hal inilah, Seno Panyadewa menyusun buku yang berjudul Misteri Borobudur dari berbagai sumber literatur baik yang berbentuk media cetak maupun yang tersedia online di Internet ini untuk membantah teori “Borodubur Adalah Peninggalan Nabi Sulaiman” (disingkat sebagai BAPNS dalam buku ini).
Teori bahwa Borobudur peninggalan Nabi Sulaiman dikupas tuntas di buku ini. Bukti-bukti yang diajukannya diperiksa kebenarannya satu demi satu. Seno Panyadewa juga membandingkan bukti-bukti dari berbagai penelitian ilmiah apakah Candi Borobudur peninggalan Dinasti Sailendra ataukah Nabi Sulaiman. Bahkan bukti-bukti mengenai lokasi sebenarnya Negeri Saba juga dibahas.
Tak hanya mengupas tentang kejanggalan-kejanggalan dalam teori Borobudur peninggalan Nabi Sulaiman, buku ini juga membahas secara mengesankan perihal sejarah Borobudur, sejarah agama Buddha dan Hindu pada saat itu, serta analisis tentang ikonografi, arsitektur, dan simbol-simbol pada Borobudur. Tak pelak, buku ini akan memampukan Anda untuk memberikan penilaian yang lebih akurat dan objektif mengenai sejarah dan misteri yang menyelimuti monumen agung bernama Borobudur.
Diawali dengan kutipan isi prasasti Kayumwungan yang merupakan bukti arkeologis tak terbantahkan bahwa Borobudur didirikan oleh Dinasti Sailendra yang beragama Buddha dari kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah, buku ini disusun dalam 7 bab yang mengkaji teori BAPNS dari segi arkeologi, tinjauan ilmiah, ikonografi, arsitektur, dan bantahan umum lainnya. Dari segi arkeologi misalnya, selain bukti prasasti, penulis juga menyajikan analisis paleografis atas tulisan kuno yang terpahat pada Candi Borobudur, bukti dari kitab-kitab kuno yang menyatakan pembangunan Candi Borobudur, dan catatan perjalanan para bhiksu dari Cina seperti Fa-Hien dan I-Tsing, yang semuanya dengan sangat meyakinkan membuktikan bahwa Candi Borobudur adalah peninggalan agama Buddha Mahayana aliran Tantrayana yang dibangun pada sekitar abad ke-8 atau ke-9 Masehi. Teori Fahmi sendiri mengandalkan prasasti emas yang ditemukan di situs Candi Ratu Boko (yang dianggap istana ratu negeri Saba) sebagai bukti arkeologis BAPNS dengan mengatakan bahwa prasasti tersebut mengandung kalimat dari ayat Al-Quran, namun sesungguhnya prasasti tersebut berisi tulisan mantra pujian untuk Rudra (nama lain Dewa Siwa yang dipuja dalam agama Hindu). Candi Ratu Boko sendiri adalah miniatur vihara Abhayagiri (pusat studi agama Buddha di Sri Lanka pada abad ke-2 SM s/d abad ke-12 M) yang didirikan pada abad ke-8 M, yang kemudian digunakan sebagai tempat pemujaan agama Hindu ketika jatuh ke tangan raja yang beragama Hindu Siwaistis dalam perebutan tahta pada abad ke-9 M.
Teori BAPNS menyatakan bahwa Bobodubur dipindahkan dengan kecepatan 60.000 kali kecepatan cahaya, hal yang tidak mungkin secara ilmiah menurut teori relativitas Einstein karena dibutuhkan sejumlah energi tak terbatas untuk mempercepat objek dengan massa tertentu sampai mencapai kecepatan cahaya (300.000 km/detik). Selain itu, dalam teori relativitas khusus dikatakan jika benda bergerak lebih cepat daripada cahaya, ia akan berpindah ke masa lampau yang akan menyalahi prinsip kausalitas di mana “akibat” terjadi sebelum “sebab”. Dalam fiksi ilmiah, objek yang bergerak melebihi kecepatan cahaya dapat digunakan untuk menciptakan teleportasi dan mesin waktu, namun sampai saat ini para ilmuwan belum berhasil menemukan objek yang demikian. Inilah salah satu bantahan dari segi ilmiah yang dikemukakan dalam buku ini.
Tentu saja, bantahan yang paling masuk akal menurut saya adalah dari segi ikonografi dan arsitektur Borobudur itu sendiri. Pada candi ini ditemukan sejumlah besar patung Buddha yang merupakan simbol khas agama Buddha dalam berbagai bentuk mudra (posisi tangan yang menyimbolkan makna spiritual tertentu dalam agama Hindu dan Buddha).
Agama Islam justru melarang membuat patung dari makhluk-makhluk hidup karena dianggap sebagai berhala sehingga bagaimana mungkin Nabi Sulaiman mendirikan patung-patung tersebut? Bahkan relief-relief Candi Borobudur menceritakan kisah-kisah dari kitab Buddhis Mahayana seperti Karmavibhanga, Jatakamala, Lalitavistara, Avadana, dan Gandavyuha.
Dari segi arsitektur, Borobudur dibangun berdasarkan bentuk stupa (monumen Buddhis yang berfungsi menyimpan relik atau objek peninggalan orang suci lainnya) yang merupakan suatu visualisasi dari mandala (diagram geometris yang menggambarkan kosmologi tempat kediaman makhluk suci Mahayana sebagai alat visualisasi praktisi meditasi). Mandala yang terkandung dalam Borobudur sendiri adalah gabungan dari Garbhadhatu Mandala dan Vajradhatu Mandala yang terdapat dalam kitab Maha Vairocana Sutra. Sebagai penutup bab tentang arsitektur, penulis juga menyajikan teori angka yang mendukung Borobudur sebagai bangunan peninggalan agama Buddha sebagai respon teori angka dari Fahmi Basya untuk menunjukkan bahwa teori angka mana pun dapat dicocokkan dengan makna simbolis Borobudur dan oleh karenanya bukan bukti yang menguatkan.
Bantahan umum lainnya disajikan dalam bab terakhir sebelum penutup buku ini, di antaranya tentang kapan Nabi Sulaiman hidup, kemungkinan beliau pernah menguasai Nusantara, dan letak negeri Saba sebenarnya. Diperkirakan Nabi Sulaiman hidup kira-kira antara tahun 1200-800 SM yang jika dikaitkan dengan pembangunan Candi Borobudur, terpaut minimal 16 abad. Jika dikatakan hal ini bisa saja terjadi dengan kekuasaan Allah seperti yang diklaim para pendukung teori BAPNS, maka ini tidak bisa dikatakan sebagai teori ilmiah sama sekali, melainkan pseudoscience karena hal-hal demikian bukan ranah sains lagi. Kerajaan Nabi Sulaiman yang diwarisi dari Nabi Daud terletak di daerah Timur Tengah dan sangat tidak mungkin menaklukkan Nusantara yang letaknya sangat jauh secara geografis, sedangkan negeri-negeri tetangga yang berdekatan tidak pernah dikuasainya. Secara arkeologis telah ditemukan bukti keberadaan kerajaan Saba di negara Yaman saat ini yang menjadi bantahan bahwa kerajaan Saba terletak di Indonesia.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa teori BAPNS hanyalah “cocokologi” ayat-ayat Al-Quran yang dikaitkan dengan sejarah pembangunan Borobudur. Hal ini justru berpotensi menghilangkan kesakralan Al-Quran itu sendiri sebagai panduan hidup umat Islam dengan hanya dijadikan semacam kitab primbon untuk meramal masa depan atau menebak-nebak masa lampau.
Buku ini disajikan secara sistematis dan terstruktur sesuai dengan kaidah penulisan buku ilmiah (kecuali ketiadaan daftar pustaka yang menjadi referensi sumber buku ini, tetapi referensi sumber diberikan dalam catatan-catatan kaki), namun ia tetap membumi dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami oleh semua kalangan pembacanya. Dengan demikian, walaupun pembaca mungkin tidak tertarik dengan segala macam teori tentang Borobudur, isi buku ini memberikan informasi yang patut kita ketahui tentang sejarah, arkeologi, ikonografi, dan arsitektur Candi Borobudur yang dirangkum secara ringkas, padat, dan jelas dari berbagai sumber penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan membaca buku ini para pembaca akan terbangkitkan minatnya untuk menggali lebih dalam sejarah leluhur bangsa Indonesia pada umumnya dan terinspirasi pada makna filosofis yang terkandung dalam Borobudur pada khususnya.
Penyusun : Yohanes Gitoyo, S Pd.
Diedit dari artikel di : http://www.kaskus.co.id/thread/54297546582b2eee338b4568/buku-bantahan-untuk-quotborobudur-peninggalan-nabi-sulaimanquot/
Diawali dengan kutipan isi prasasti Kayumwungan yang merupakan bukti arkeologis tak terbantahkan bahwa Borobudur didirikan oleh Dinasti Sailendra yang beragama Buddha dari kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah, buku ini disusun dalam 7 bab yang mengkaji teori BAPNS dari segi arkeologi, tinjauan ilmiah, ikonografi, arsitektur, dan bantahan umum lainnya. Dari segi arkeologi misalnya, selain bukti prasasti, penulis juga menyajikan analisis paleografis atas tulisan kuno yang terpahat pada Candi Borobudur, bukti dari kitab-kitab kuno yang menyatakan pembangunan Candi Borobudur, dan catatan perjalanan para bhiksu dari Cina seperti Fa-Hien dan I-Tsing, yang semuanya dengan sangat meyakinkan membuktikan bahwa Candi Borobudur adalah peninggalan agama Buddha Mahayana aliran Tantrayana yang dibangun pada sekitar abad ke-8 atau ke-9 Masehi. Teori Fahmi sendiri mengandalkan prasasti emas yang ditemukan di situs Candi Ratu Boko (yang dianggap istana ratu negeri Saba) sebagai bukti arkeologis BAPNS dengan mengatakan bahwa prasasti tersebut mengandung kalimat dari ayat Al-Quran, namun sesungguhnya prasasti tersebut berisi tulisan mantra pujian untuk Rudra (nama lain Dewa Siwa yang dipuja dalam agama Hindu). Candi Ratu Boko sendiri adalah miniatur vihara Abhayagiri (pusat studi agama Buddha di Sri Lanka pada abad ke-2 SM s/d abad ke-12 M) yang didirikan pada abad ke-8 M, yang kemudian digunakan sebagai tempat pemujaan agama Hindu ketika jatuh ke tangan raja yang beragama Hindu Siwaistis dalam perebutan tahta pada abad ke-9 M.
Teori BAPNS menyatakan bahwa Bobodubur dipindahkan dengan kecepatan 60.000 kali kecepatan cahaya, hal yang tidak mungkin secara ilmiah menurut teori relativitas Einstein karena dibutuhkan sejumlah energi tak terbatas untuk mempercepat objek dengan massa tertentu sampai mencapai kecepatan cahaya (300.000 km/detik). Selain itu, dalam teori relativitas khusus dikatakan jika benda bergerak lebih cepat daripada cahaya, ia akan berpindah ke masa lampau yang akan menyalahi prinsip kausalitas di mana “akibat” terjadi sebelum “sebab”. Dalam fiksi ilmiah, objek yang bergerak melebihi kecepatan cahaya dapat digunakan untuk menciptakan teleportasi dan mesin waktu, namun sampai saat ini para ilmuwan belum berhasil menemukan objek yang demikian. Inilah salah satu bantahan dari segi ilmiah yang dikemukakan dalam buku ini.
Tentu saja, bantahan yang paling masuk akal menurut saya adalah dari segi ikonografi dan arsitektur Borobudur itu sendiri. Pada candi ini ditemukan sejumlah besar patung Buddha yang merupakan simbol khas agama Buddha dalam berbagai bentuk mudra (posisi tangan yang menyimbolkan makna spiritual tertentu dalam agama Hindu dan Buddha).
Agama Islam justru melarang membuat patung dari makhluk-makhluk hidup karena dianggap sebagai berhala sehingga bagaimana mungkin Nabi Sulaiman mendirikan patung-patung tersebut? Bahkan relief-relief Candi Borobudur menceritakan kisah-kisah dari kitab Buddhis Mahayana seperti Karmavibhanga, Jatakamala, Lalitavistara, Avadana, dan Gandavyuha.
Dari segi arsitektur, Borobudur dibangun berdasarkan bentuk stupa (monumen Buddhis yang berfungsi menyimpan relik atau objek peninggalan orang suci lainnya) yang merupakan suatu visualisasi dari mandala (diagram geometris yang menggambarkan kosmologi tempat kediaman makhluk suci Mahayana sebagai alat visualisasi praktisi meditasi). Mandala yang terkandung dalam Borobudur sendiri adalah gabungan dari Garbhadhatu Mandala dan Vajradhatu Mandala yang terdapat dalam kitab Maha Vairocana Sutra. Sebagai penutup bab tentang arsitektur, penulis juga menyajikan teori angka yang mendukung Borobudur sebagai bangunan peninggalan agama Buddha sebagai respon teori angka dari Fahmi Basya untuk menunjukkan bahwa teori angka mana pun dapat dicocokkan dengan makna simbolis Borobudur dan oleh karenanya bukan bukti yang menguatkan.
Bantahan umum lainnya disajikan dalam bab terakhir sebelum penutup buku ini, di antaranya tentang kapan Nabi Sulaiman hidup, kemungkinan beliau pernah menguasai Nusantara, dan letak negeri Saba sebenarnya. Diperkirakan Nabi Sulaiman hidup kira-kira antara tahun 1200-800 SM yang jika dikaitkan dengan pembangunan Candi Borobudur, terpaut minimal 16 abad. Jika dikatakan hal ini bisa saja terjadi dengan kekuasaan Allah seperti yang diklaim para pendukung teori BAPNS, maka ini tidak bisa dikatakan sebagai teori ilmiah sama sekali, melainkan pseudoscience karena hal-hal demikian bukan ranah sains lagi. Kerajaan Nabi Sulaiman yang diwarisi dari Nabi Daud terletak di daerah Timur Tengah dan sangat tidak mungkin menaklukkan Nusantara yang letaknya sangat jauh secara geografis, sedangkan negeri-negeri tetangga yang berdekatan tidak pernah dikuasainya. Secara arkeologis telah ditemukan bukti keberadaan kerajaan Saba di negara Yaman saat ini yang menjadi bantahan bahwa kerajaan Saba terletak di Indonesia.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa teori BAPNS hanyalah “cocokologi” ayat-ayat Al-Quran yang dikaitkan dengan sejarah pembangunan Borobudur. Hal ini justru berpotensi menghilangkan kesakralan Al-Quran itu sendiri sebagai panduan hidup umat Islam dengan hanya dijadikan semacam kitab primbon untuk meramal masa depan atau menebak-nebak masa lampau.
Buku ini disajikan secara sistematis dan terstruktur sesuai dengan kaidah penulisan buku ilmiah (kecuali ketiadaan daftar pustaka yang menjadi referensi sumber buku ini, tetapi referensi sumber diberikan dalam catatan-catatan kaki), namun ia tetap membumi dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami oleh semua kalangan pembacanya. Dengan demikian, walaupun pembaca mungkin tidak tertarik dengan segala macam teori tentang Borobudur, isi buku ini memberikan informasi yang patut kita ketahui tentang sejarah, arkeologi, ikonografi, dan arsitektur Candi Borobudur yang dirangkum secara ringkas, padat, dan jelas dari berbagai sumber penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan membaca buku ini para pembaca akan terbangkitkan minatnya untuk menggali lebih dalam sejarah leluhur bangsa Indonesia pada umumnya dan terinspirasi pada makna filosofis yang terkandung dalam Borobudur pada khususnya.
Penyusun : Yohanes Gitoyo, S Pd.
Diedit dari artikel di : http://www.kaskus.co.id/thread/54297546582b2eee338b4568/buku-bantahan-untuk-quotborobudur-peninggalan-nabi-sulaimanquot/
Komentar
Posting Komentar