Kontroversi Metode "Cuci Otak" Terhadap Pasien Stroke Ala dr Terawan Agus Putranto Sp.Rad.
dr Terawan Agus Putranto Sp.Rad merupakan dokter ahli yang juga menjadi kepala RS Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta. Dia dikenal dengan metode “Cuci Otak” untuk meringankan dan menyembuhkan pasien stroke.
Dan terbukti, banyak pasien yang sembuh atau diringankan. Namun, belakangan menjadi heboh karena dokter tersebut dipecat dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Namun, isu tersebut kemudian melebar ke publik sejak bocornya surat rekomendasi dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI) yang berisi amar putusan untuk memecat dr Terawan selama satu tahun serta mencabut rekomendasi izin praktik. Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi) Prof dr Moh Hasan Machfoed, Sp.S(K) mengungkapkan terapi cuci otak sebenarnya sudah dilakukan oleh dr Terawan sejak 2011.
Saat itu, dr Terawan yang juga merupakan Kepala RSPAD Gatot Soebroto belum memiliki landasan ilmiah dalam melakukan tindakan terapi cuci otak. Hasan menyebutkan terapi cuci otak itu bahkan juga digunakan untuk terapi penyakit nonstroke dan nonsaraf seperti parkinson dan diabetes melitus.
Video : " Konpres Mayjen TNI dr Terawan Pasca Sanksi Pemecatan IDI "
Dokter Terawan menjawab pada konferensi pers di RSPAD Gatot Soebroto beberapa waktu lalu bahwa metode cuci otak yang dilakukannya telah dilakukan penelitian disertasi dan diuji di Universitas Hassanudin Makassar pada 2016 bersama lima orang rekannya. Dia menyebutkan penelitian tersebut menghasilkan 12 jurnal ilmiah dan enam orang gelar doktor.
Disertasi mengenai terapi cuci otak dengan DSA dan menggunakan heparin itu untuk menjawab pertanyaan tentang tindakan terapinya yang telah lama dilakukan tanpa landasan ilmiah. Namun menurut sejumlah pakar, hasil penelitian dalam disertasi itu masih memerlukan kajian lebih lanjut karena landasannya kurang kuat.
Riset ilmiah diangggap menjadi solusi terkait kontroversi "cuci otak" dr Terawan Agus Putranto terhadap pasien stroke. Pintu untuk bantahan terhadap metode Terawan juga dibuka lebar melalui proses riset ilmiah dan akademis.
Tentang Penyakit Stroke.
Stroke adalah kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke otak terputus akibat penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah, sehingga terjadi kematian sel-sel pada sebagian area di otak. Stroke adalah kondisi kesehatan yang serius yang membutuhkan penanganan cepat.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, terdapat sekitar 12 penderita stroke per 1000 penduduk Indonesia. Stroke juga merupakan penyakit pembunuh nomor satu di Indonesia.
Orang-orang yang usianya lebih dari 65 tahun paling berisiko terkena stroke. Namun dua puluh lima persen stroke terjadi pada orang-orang yang berusia di bawah 65 tahun, termasuk anak-anak.
Orang-orang yang merokok, kurang olah raga, dan memiliki pola makan yang buruk juga rentan terhadap stoke. Selain itu orang-orang yang sirkulasi darahnya terganggu akibat tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, detak jantung tidak teratur atau fibrilasi atrium, dan diabetes, juga lebih rentan terhadap stroke.
Ketika pasokan darah yang membawa oksigen dan nutrisi ke otak terputus, maka sel-sel otak akan mulai mati. Karena itu semakin cepat penderita ditangani, kerusakan yang terjadi pun semakin kecil bahkan kematian bisa dihindari. Jika Anda merasakan serangan stroke atau melihat orang lain terserang stroke, segera hubungi rumah sakit untuk meminta ambulans.
Latar belakang terjadinya stroke, otak dapat berfungsi dengan baik jika pasokan oksigen dan nutrisi yang disediakan darah mengalir dengan baik. Jika pasokan darah terhambat, maka otak akan rusak, bahkan seseorang yang terkena stroke bisa meninggal.
Stroke umumnya didiagnosis melalui tanda-tanda fisik, serta melalui foto atau pencitraan otak. Pencitraan otak gunanya untuk menentukan apakah stroke disebabkan oleh arteri yang tersumbat atau pembuluh darah yang pecah, adanya risiko serangan stroke iskemik, bagian otak mana yang terserang, dan seberapa parah stroke tersebut.
Stroke memiliki gejala stroke berikut :
Ada juga yang disebut TIA (Transient Ischemic Attack) atau stroke ringan. TIA terjadi ketika pasokan darah ke otak mengalami gangguan sesaat yang biasanya diawali dengan gejala pusing, penglihatan ganda, tubuh secara mendadak terasa lemas, dan sulit bicara.
Meski hanya sesaat, tetap harus ditangani secara serius. Karena hal ini biasanya merupakan peringatan akan datangnya serangan stroke berat.
Metode Pengobatan “Cuci Otak”.
Tapi bagaimana sebenarnya praktik “Cuci Otak” yang dilakukan Dr Terawan ini? Dokter Terawan menjelaskan metode ‘cuci otak’ itu secara ringkas sebenarnya adalah memasukkan kateter ke dalam pembuluh darah melalui pangkal paha penderita stroke.
Hal tersebut dilakukan untuk melihat apakah terdapat penyumbatan pembuluh darah di area otak. Penyumbatan tersebut dapat mengakibatkan aliran darah ke otak bisa macet dan dapat menyebabkan saraf tubuh tidak bisa bekerja dengan baik.
Kondisi inilah yang terjadi pada penderita stroke. Sumbatan tersebut melalui metode DSA kemudian dibersihkan sehingga pembuluh darah kembali bersih dan aliran darah pun normal kembali.
Cara membersihkan sumbatan pembuluh darah pun terdapat berbagai cara. Mulai dari pemasangan balon di jaringan otak (transcranial LED) yang dilanjutkan dengan terapi.
Selain itu ada juga cara lain yaitu memasukkan cairan Heparin yang bisa memberi pengaruh pada pembuluh darah. Cairan tersebut juga menimbulkan efek anti pembekuan darah di pembuluh darah.
“Ada banyak pasien yang merasa sembuh atau diringankan oleh terapi ‘cuci otak’ itu,” jelas Terawan.
Meski mendapatkan banyak testimoni positif dari para pasiennya yang merupakan tokoh-tokoh nasional, metode terapi cuci otak melalui digital substraction angiography (DSA) membutuhkan penelitian yang lebih mendalam.
Tidak sedikit pakar dan rekan sejawat dr Terawan yang mengatakan bahwa terapi cuci otak yang digunakannya untuk terapi penyakit stroke iskemik maupun kronik masih memerlukan kajian lebih lanjut. Terapi cuci otak melalui DSA yang ditemukan oleh dr Terawan ini sebenarnya sudah lama ada dan menjadi polemik di kalangan dunia kedokteran.
Banyaknya pembahasan diskusi mengenai metode cuci otak yang dilakukan oleh dr Terawan di dunia kedokteran ialah karena terapi menggunakan DSA dan obat heparin sebagai pengobatan. Pada dasarnya cara itu untuk mendiagnosis, bukan bersifat kuratif.
Yudhi mengatakan tujuan DSA untuk mendiagnostik dan untuk mengevaluasi pembuluh darah otak. Dengan demikian, bisa diketahui penyakit dari pasien dan menentukan pengobatan yang tepat.
Adapun cara kerja DSA yaitu dengan memasukan kateter berukuran kecil dengan panjang sekitar satu meter ke dalam pembuluh darah dari paha hingga menuju otak. Kemudian melalui komputer khusus akan terlihat bagian-bagian pembuluh yang mengalami penyempitan dan hal tersebut dimaksudkan untuk diagnostik pasien.
Sementara, menurut Prof Hasan, obat heparin tidak bisa digunakan sebagai terapi stroke. Heparin hanya berfungsi sebagai pencegahan pembekuan darah selama tindakan DSA dilakukan.
Menjawab mengenai hasil penelitian dr Terawan yang menyebutkan heparin dapat menjadi pengobatan untuk penyakit stroke, Hasan dan rekannya melakukan penelitian yang hasilnya telah dipublikasikan di BAOJ Neurology Amerika Serikat. Hasilnya, yakni terapi heparin pada stroke tidak memiliki landasan ilmiah kuat.
Prof Hasan dan rekan-rekannya juga mempelajari penelitian ilmiah dr Terawan yang dimuat dalam disertasinya. Dari hasil kajian itu, Hasan menyimpulkan bahwa hasil penelitian itu tidak memiliki landasan ilmiah.
Hasan menyebutkan salah satu contoh di mana dr Terawan mengambil referensi dari penelitian Guggenmos yang dianggap keliru. Sebab, dia menerangkan, perbaikan stroke menurut Guggenmos bisa dilakukan dengan implantasi microelectrodes di kortek.
"Jadi perbaikan stroke bukan karena heparin," jelas Prof Hasan. Dia secara tegas mengatakan bahwa metode cuci otak yang dilakukan oleh dr Terawan tidak memiliki landasan ilmiah yang kuat.
Inovasi Dalam Dunia Kedokteran Perlu Uji Klinis Terlebih Dahulu.
Dari pihak pemerintah, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Siswanto berpendapat hasil disertasi tersebut masih memerlukan uji klinis tambahan. Khususnya untuk menguatkan bukti-bukti ilmiah agar bisa diterima oleh kolegium profesi.
Salah satu syarat inovasi medis agar bisa diaplikasikan pada publik dan menjadi terapi pengobatan ialah harus melalui uji klinis untuk memastikan keamanan dan kualitas metode pengobatan tersebut. Tentunya metode pengobatan tersebut harus dibuktikan secara ilmiah melalui tahapan-tahapan uji klinis.
Dokter spesialis saraf Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA) Surabaya dr Yudhi Adrianto Sp.S menejelaskan sebelum sebuah inovasi medis bisa dilakukan pada manusia harus terlebih dahulu melakukan penelitian. Ada empat fase uji klinis yang harus dilalui untuk mengetahui apakah manfaat pengobatan sudah terukur dengan baik sehingga aman digunakan pada manusia.
Dan terbukti, banyak pasien yang sembuh atau diringankan. Namun, belakangan menjadi heboh karena dokter tersebut dipecat dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Namun, isu tersebut kemudian melebar ke publik sejak bocornya surat rekomendasi dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI) yang berisi amar putusan untuk memecat dr Terawan selama satu tahun serta mencabut rekomendasi izin praktik. Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi) Prof dr Moh Hasan Machfoed, Sp.S(K) mengungkapkan terapi cuci otak sebenarnya sudah dilakukan oleh dr Terawan sejak 2011.
Saat itu, dr Terawan yang juga merupakan Kepala RSPAD Gatot Soebroto belum memiliki landasan ilmiah dalam melakukan tindakan terapi cuci otak. Hasan menyebutkan terapi cuci otak itu bahkan juga digunakan untuk terapi penyakit nonstroke dan nonsaraf seperti parkinson dan diabetes melitus.
Disertasi mengenai terapi cuci otak dengan DSA dan menggunakan heparin itu untuk menjawab pertanyaan tentang tindakan terapinya yang telah lama dilakukan tanpa landasan ilmiah. Namun menurut sejumlah pakar, hasil penelitian dalam disertasi itu masih memerlukan kajian lebih lanjut karena landasannya kurang kuat.
Riset ilmiah diangggap menjadi solusi terkait kontroversi "cuci otak" dr Terawan Agus Putranto terhadap pasien stroke. Pintu untuk bantahan terhadap metode Terawan juga dibuka lebar melalui proses riset ilmiah dan akademis.
Tentang Penyakit Stroke.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, terdapat sekitar 12 penderita stroke per 1000 penduduk Indonesia. Stroke juga merupakan penyakit pembunuh nomor satu di Indonesia.
Orang-orang yang usianya lebih dari 65 tahun paling berisiko terkena stroke. Namun dua puluh lima persen stroke terjadi pada orang-orang yang berusia di bawah 65 tahun, termasuk anak-anak.
Orang-orang yang merokok, kurang olah raga, dan memiliki pola makan yang buruk juga rentan terhadap stoke. Selain itu orang-orang yang sirkulasi darahnya terganggu akibat tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, detak jantung tidak teratur atau fibrilasi atrium, dan diabetes, juga lebih rentan terhadap stroke.
Ketika pasokan darah yang membawa oksigen dan nutrisi ke otak terputus, maka sel-sel otak akan mulai mati. Karena itu semakin cepat penderita ditangani, kerusakan yang terjadi pun semakin kecil bahkan kematian bisa dihindari. Jika Anda merasakan serangan stroke atau melihat orang lain terserang stroke, segera hubungi rumah sakit untuk meminta ambulans.
Latar belakang terjadinya stroke, otak dapat berfungsi dengan baik jika pasokan oksigen dan nutrisi yang disediakan darah mengalir dengan baik. Jika pasokan darah terhambat, maka otak akan rusak, bahkan seseorang yang terkena stroke bisa meninggal.
Stroke memiliki gejala stroke berikut :
- Cara bicara penderita tidak jelas atau kacau, bahkan ada juga penderita yang tidak bisa bicara sama sekali walau mereka terlihat sadar
- Mata dan mulut pada salah satu sisi wajah penderita terlihat turun
- Lengan si penderita mengalami kelumpuhan saat terserang stroke, karena itu mereka tidak mampu mengangkat salah satu atau bahkan kedua lengannya
Ada juga yang disebut TIA (Transient Ischemic Attack) atau stroke ringan. TIA terjadi ketika pasokan darah ke otak mengalami gangguan sesaat yang biasanya diawali dengan gejala pusing, penglihatan ganda, tubuh secara mendadak terasa lemas, dan sulit bicara.
Meski hanya sesaat, tetap harus ditangani secara serius. Karena hal ini biasanya merupakan peringatan akan datangnya serangan stroke berat.
Metode Pengobatan “Cuci Otak”.
Tapi bagaimana sebenarnya praktik “Cuci Otak” yang dilakukan Dr Terawan ini? Dokter Terawan menjelaskan metode ‘cuci otak’ itu secara ringkas sebenarnya adalah memasukkan kateter ke dalam pembuluh darah melalui pangkal paha penderita stroke.
Hal tersebut dilakukan untuk melihat apakah terdapat penyumbatan pembuluh darah di area otak. Penyumbatan tersebut dapat mengakibatkan aliran darah ke otak bisa macet dan dapat menyebabkan saraf tubuh tidak bisa bekerja dengan baik.
Kondisi inilah yang terjadi pada penderita stroke. Sumbatan tersebut melalui metode DSA kemudian dibersihkan sehingga pembuluh darah kembali bersih dan aliran darah pun normal kembali.
Cara membersihkan sumbatan pembuluh darah pun terdapat berbagai cara. Mulai dari pemasangan balon di jaringan otak (transcranial LED) yang dilanjutkan dengan terapi.
Selain itu ada juga cara lain yaitu memasukkan cairan Heparin yang bisa memberi pengaruh pada pembuluh darah. Cairan tersebut juga menimbulkan efek anti pembekuan darah di pembuluh darah.
“Ada banyak pasien yang merasa sembuh atau diringankan oleh terapi ‘cuci otak’ itu,” jelas Terawan.
Video : "Begini Cara Kerja 'Cuci Otak' dr Terawan"
Tidak sedikit pakar dan rekan sejawat dr Terawan yang mengatakan bahwa terapi cuci otak yang digunakannya untuk terapi penyakit stroke iskemik maupun kronik masih memerlukan kajian lebih lanjut. Terapi cuci otak melalui DSA yang ditemukan oleh dr Terawan ini sebenarnya sudah lama ada dan menjadi polemik di kalangan dunia kedokteran.
Banyaknya pembahasan diskusi mengenai metode cuci otak yang dilakukan oleh dr Terawan di dunia kedokteran ialah karena terapi menggunakan DSA dan obat heparin sebagai pengobatan. Pada dasarnya cara itu untuk mendiagnosis, bukan bersifat kuratif.
Yudhi mengatakan tujuan DSA untuk mendiagnostik dan untuk mengevaluasi pembuluh darah otak. Dengan demikian, bisa diketahui penyakit dari pasien dan menentukan pengobatan yang tepat.
Adapun cara kerja DSA yaitu dengan memasukan kateter berukuran kecil dengan panjang sekitar satu meter ke dalam pembuluh darah dari paha hingga menuju otak. Kemudian melalui komputer khusus akan terlihat bagian-bagian pembuluh yang mengalami penyempitan dan hal tersebut dimaksudkan untuk diagnostik pasien.
Sementara, menurut Prof Hasan, obat heparin tidak bisa digunakan sebagai terapi stroke. Heparin hanya berfungsi sebagai pencegahan pembekuan darah selama tindakan DSA dilakukan.
Menjawab mengenai hasil penelitian dr Terawan yang menyebutkan heparin dapat menjadi pengobatan untuk penyakit stroke, Hasan dan rekannya melakukan penelitian yang hasilnya telah dipublikasikan di BAOJ Neurology Amerika Serikat. Hasilnya, yakni terapi heparin pada stroke tidak memiliki landasan ilmiah kuat.
Prof Hasan dan rekan-rekannya juga mempelajari penelitian ilmiah dr Terawan yang dimuat dalam disertasinya. Dari hasil kajian itu, Hasan menyimpulkan bahwa hasil penelitian itu tidak memiliki landasan ilmiah.
Hasan menyebutkan salah satu contoh di mana dr Terawan mengambil referensi dari penelitian Guggenmos yang dianggap keliru. Sebab, dia menerangkan, perbaikan stroke menurut Guggenmos bisa dilakukan dengan implantasi microelectrodes di kortek.
"Jadi perbaikan stroke bukan karena heparin," jelas Prof Hasan. Dia secara tegas mengatakan bahwa metode cuci otak yang dilakukan oleh dr Terawan tidak memiliki landasan ilmiah yang kuat.
Inovasi Dalam Dunia Kedokteran Perlu Uji Klinis Terlebih Dahulu.
Salah satu syarat inovasi medis agar bisa diaplikasikan pada publik dan menjadi terapi pengobatan ialah harus melalui uji klinis untuk memastikan keamanan dan kualitas metode pengobatan tersebut. Tentunya metode pengobatan tersebut harus dibuktikan secara ilmiah melalui tahapan-tahapan uji klinis.
Dokter spesialis saraf Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA) Surabaya dr Yudhi Adrianto Sp.S menejelaskan sebelum sebuah inovasi medis bisa dilakukan pada manusia harus terlebih dahulu melakukan penelitian. Ada empat fase uji klinis yang harus dilalui untuk mengetahui apakah manfaat pengobatan sudah terukur dengan baik sehingga aman digunakan pada manusia.
Pelanggaran Kode Etik Kedokteran ?
Video "MKEK Nilai Terawan Agus Putranto Langgar Etik"
"Soal kode etik, itu adalah urusan IDI dan yang bersangkutan. Dalam data Unhas, Terawan masuk sebagai mahasiswa program doktor pada semester ganjil tahun 2012 dan menyelesaikan kuliah pada Agustus 2016,” kata Ishaq.
Pemecatan Dr Terawan tersebut, ternyata terkait dengan kasus pelanggaran kode etik. Dr Terawan dikabarkan suka mengiklan dan memuji diri. Di samping itu, dokter Terawan juga dikabarkan sering menjanjikan kesembuhan pada pasiennya.
Padahal dalam kode etik kedokteran, seorang dokter tidak boleh mengiklankan, memuji diri, dan menjanjikan kesembuhan kepada pasiennya. Terawan juga tidak mengindahkan panggilan dari Mahkamah Kehormatan Etik Kedokteran. Setiap dipanggil untuk hadir dalam sidang, Terawan tidak pernah hadir. Hal tersebut juga termasuk pelanggaran dalam kode etik kedokteran.
Pemecatan Dr Terawan tersebut, ternyata terkait dengan kasus pelanggaran kode etik. Dr Terawan dikabarkan suka mengiklan dan memuji diri. Di samping itu, dokter Terawan juga dikabarkan sering menjanjikan kesembuhan pada pasiennya.
Padahal dalam kode etik kedokteran, seorang dokter tidak boleh mengiklankan, memuji diri, dan menjanjikan kesembuhan kepada pasiennya. Terawan juga tidak mengindahkan panggilan dari Mahkamah Kehormatan Etik Kedokteran. Setiap dipanggil untuk hadir dalam sidang, Terawan tidak pernah hadir. Hal tersebut juga termasuk pelanggaran dalam kode etik kedokteran.
Prof dr Irawan Yusuf, PhD, yang menjadi promotor Terawan Agus Putranto saat mengambil program doktor di Unhas, juga berkata bahwa Terawan memang mendalami terapi stroke dalam disertasinya dan menunjukkan bahwa heparin dapat membuka penyumbat pembuluh darah.
"Penanganan stroke harus cepat. Jika tidak, jaringan otak bisa mati. Jika jaringan otak mati, penyembuhan susah. Makanya banyak pasien stroke yang lumpuh dan lama. Dengan membuka sumbatan lebih cepat, pengobatan konvensional dapat dilakukan dengan efektif.
Metode ini memperpanjang window period dan gejala klinis membaik,” kata Irawan. Seperti diketahui, Judul desertasi Terawan adalah "Efek Intra Arterial Heparin Flushing (IAHF) terhadap Regional Cerebral Blood Flow (rCBF) Motor Evoked Potentials (MEPs) dan Fungsi Motorik pada Pasien dengan Stroke Iskemik Kronis".
Irawan pun menambahkan bahwa metode penggunaan zat heparin memang mencegah pembekuan pembuluh darah. Namun, belum pernah dibuktikan bagaimana mekanisme heparin membuka sumbatan tersebut. Oleh karena itu, Irawan menyarankan Terawan untuk melakukan riset dan pembuktian secara ilmiah.
”Dalam metode Terawan, kenyataannya sumbatannya memang terbuka. Tapi, apakah disebabkan oleh heparin, ini harus dibuktikan. Jadi, ini yang mesti dicari dan dijelaskan. Intinya, kontroversi harus diselesaikan dengan riset,” kata Irawan.
Dilansir dari Kompas.id, Sabtu (7/4/2018), Irawan menghimbau Terawan untuk terus menjalin komunikasi dengan ahli dan IDI. Selain itu, dia juga mengajak masyarakat untuk memberi Terawan kesempatan melakukan riset lebih mendalam terkait metode "cuci otak" dengan heparin tersebut. Lalu, alangkah lebih baik lagi bila para ahli lainnya juga membuktikan bantahan secara ilmiah dan akademis terkait metode Terawan.
Penyelesaian Ilmiah Dalam Kasus dr Terawan.
Kendati metode cuci otak dengan DSA ala dr Terawan masih diperdebatkan secara ilmiah, tetapi terapi stroke yang dilakukannya sejak lama tersebut banyak menuai testimoni positif. Bahkan testimoni tersebut muncul dari para tokoh nasional seperti Aburizal Bakrie, Dahlan Iskan, Prabowo Subianto, dan Mahfud MD.
Semua tokoh tersebut pernah menjalani terapi cuci otak dan mengaku sangat terbantu dengan metode pengobatan itu yang pada akhirnya membuat tubuh bugar hingga saat ini. Tak heran banyak dari para tokoh tersebut yang kemudian membela dr Terawan dari sanksi yang diberikan oleh MKEK IDI.
Namun kembali pada persoalan medis, manfaat sebuah pengobatan bukanlah berdasar pada testimoni pasien melainkan dibuktikan secara ilmiah. Jika hanya menggunakan testimoni pasien tanpa penjelasan ilmiah, sebuah pengobatan medis akan menjadi tidak ada beda dengan pengobatan alternatif yang tak didasari penelitian ilmiah.
Anggota Komisi IX DPR RI yang juga berlatar belakang dokter Adang Sudrajat tidak menutup mata dengan inovasi dari dr Terawan yang telah menuai banyak testimoni dan dirasakan bermanfaat bagi pasiennya. Namun, Adang tetap memandang dari kacamata dunia kedokteran bahwa sebuah tindakan medis perlu dilandasi dengan penelitian dan bukti ilmiah yang kuat.
Dia mendorong agar metode cuci otak yang selama ini dilakukan oleh dr Terawan dilakukan pengembangan dan penelitian tambahan untuk menguatkan dasar ilmiah. Bahkan kalau perlu pemerintah menanggung biaya penelitian agar pengobatan yang telah menyembuhkan banyak orang itu bisa secara resmi dan legal dipraktikan.
Polemik mengenai sanksi pemecatan dr Terawan dari MKEK IDI ini sebenarnya bermula dari persoalan ilmiah yang diperdebatkan, maka penyelesaian paling elegan untuk permasalahan ini ialah secara ilmiah pula.
Penyelesaian Ilmiah Dalam Kasus dr Terawan.
Semua tokoh tersebut pernah menjalani terapi cuci otak dan mengaku sangat terbantu dengan metode pengobatan itu yang pada akhirnya membuat tubuh bugar hingga saat ini. Tak heran banyak dari para tokoh tersebut yang kemudian membela dr Terawan dari sanksi yang diberikan oleh MKEK IDI.
Namun kembali pada persoalan medis, manfaat sebuah pengobatan bukanlah berdasar pada testimoni pasien melainkan dibuktikan secara ilmiah. Jika hanya menggunakan testimoni pasien tanpa penjelasan ilmiah, sebuah pengobatan medis akan menjadi tidak ada beda dengan pengobatan alternatif yang tak didasari penelitian ilmiah.
Anggota Komisi IX DPR RI yang juga berlatar belakang dokter Adang Sudrajat tidak menutup mata dengan inovasi dari dr Terawan yang telah menuai banyak testimoni dan dirasakan bermanfaat bagi pasiennya. Namun, Adang tetap memandang dari kacamata dunia kedokteran bahwa sebuah tindakan medis perlu dilandasi dengan penelitian dan bukti ilmiah yang kuat.
Dia mendorong agar metode cuci otak yang selama ini dilakukan oleh dr Terawan dilakukan pengembangan dan penelitian tambahan untuk menguatkan dasar ilmiah. Bahkan kalau perlu pemerintah menanggung biaya penelitian agar pengobatan yang telah menyembuhkan banyak orang itu bisa secara resmi dan legal dipraktikan.
Polemik mengenai sanksi pemecatan dr Terawan dari MKEK IDI ini sebenarnya bermula dari persoalan ilmiah yang diperdebatkan, maka penyelesaian paling elegan untuk permasalahan ini ialah secara ilmiah pula.
Penyusun : Yohanes Gitoyo, S Pd.
Sumber :
- http://dokterakupuntursurabaya.astieyoung.com/latar-belakan-dang-pengobatan-stroke/
- https://sains.kompas.com/read/2018/04/07/202818823/riset-ilmiah-dianggap-solusi-polemik-cuci-otak-ala-terawan
- https://joglosemarnews.com/2018/04/terkenal-dengan-metode-cuci-otak-bagi-pasien-stroke-dr-terawan-dipecat-dari-idi-ini-sebabnya/
- http://republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/18/04/08/p6uvaz428-metode-cuci-otak-butuh-penelitian-mendalam
Komentar
Posting Komentar