Perkembangan Ilmu Pengetahuan Kita Lamban, Ini Alasannya....
Indonesia merupakan negara dengan riwayat tradisi intelektual yang panjang, dimulai sejak masa Hindia Belanda hingga pasca kemerdekaan. Ilmuwan internasional seperti Alfred Russel Wallace, Eugene Dubois, Ralph von Koenigswald, dan Christiaan Eijkman dikenal akan temuannya di Hindia Belanda. Begitu pula intelektual lokal seperti dr. Soetomo dan Ki Hadjar Dewantara yang meletakkan fondasi pendidikan dan pemikiran kritis di Indonesia.
Namun yang kini menjadi pertanyaan, mengapa perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia saat ini relatif lamban jika dibandingkan dengan negara yang berusia serupa, seperti India atau Australia?
Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan, mengemukakan beberapa faktor yang dinilainya berpengaruh. Antara lain adalah kurang banyaknya lembaga independen yang menaungi para ilmuwan amatir, alasan finansial yang belum mampu menganggung biaya riset, dan hubungan antara negara dan ilmuwan.
Hilmar menerangkan bahwa kita mewarisi pola birokrasi dan kelembagaan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda, termasuk kekurangannya. Hal ini menghasilkan ambiguitas badan penelitian dan pengembangan (Litbang) di kementrian, yang selama ini dianggap setara dengan bagian research & development pada suatu korporasi.
“Kita punya penelitian mengenai struktur gigi manusia purba, tapi menurut aturan organisasi kementrian, hasil penelitian ini harus punya dampak terhadap perkembangan organisasi. Saya belum tahu bagaimana mengaitkan itu,” canda Hilmar pada diskusi bedah buku “Belenggu Ilmuwan dan Ilmu Pengetahuan” di Jakarta, Selasa (23/4/2019).
“Selama hubungan antara institusi negara dan ilmuwan belum diatur dengan benar, ya kondisi ini tidak akan berubah,” tambahnya. Hilmar berharap akan adanya sistem yang mengatur hak intelektual, serta munculnya semangat filantropis yang menyediakan dana penelitian.
Pembicara lain Prof. Sangkot Marzuki dari Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) juga mengutarakan pendapatnya. Menurut dia, riset saintifik saat ini hanya berpusat pada publikasi, namun tidak mampu menyentuh publik. “Saat ini mungkin penemuan satu spesies saja sudah digembor-gemborkan.
Pembicara lain Prof. Sangkot Marzuki dari Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) juga mengutarakan pendapatnya. Menurut dia, riset saintifik saat ini hanya berpusat pada publikasi, namun tidak mampu menyentuh publik. “Saat ini mungkin penemuan satu spesies saja sudah digembor-gemborkan.
Padahal, sejak 350 tahun lalu, sudah banyak spesies ditemukan dan dideskripsikan, sejak zaman Wallace,” paparnya. “Itu levelnya rendah sekali. Seharusnya kita minimal mencontoh Wallace, (di mana) bukan hanya deskripsi taksonomi tapi juga menghasilkan teori baru, seperti teori evolusinya Wallace,” tambahnya.
Sementara itu, Prof. Herawati Sudoyo, peneliti dari Eijkman Institute yang turut hadir dalam diskusi, punya pendapat lain. Menurut dia, saat ini kita bisa mengkombinasikan tradisi kultural yang dimiliki nenek moyang kita dengan pendekatan saintifik modern, misalnya di bidang etnobotani.
Herawati menjelaskan bahwa leluhur bangsa Indonesia sudah sejak lama memanfaatkan tumbuhan obat secara tradisional, yang juga telah dikatalogkan oleh Rumphius pada masa Hindia Belanda. Saat ini, pengetahuan tersebut seharusnya dapat dijadikan acuan dengan metode saintifik, seperti kandungan senyawa serta efeknya dalam uji klinis.
Penulis : Julio Subagio
Editor : Shierine Wangsa Wibawa
Sumber : sains.kompas.com, 23 April 2019, 20:07 WIB.
Komentar
Posting Komentar