Pemerintah RI "Coba-coba" Membatasi Kemerdekaan Pers ?
Satu lagi kebijakan pemerintah dianulir. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mencabut Surat Edaran yang berisi peraturan yang membatasi atau menyeleksi jurnalis asing untuk menjalankan kegiatan jurnalistiknya di Indonesia. Umur surat itu pun baru hitungan jam, namun cepat ?munculkan keresahan di kalangan media massa.
"Sore ini (Kamis, 27 Agustus 2105) kami cabut Surat Edaran tersebut. Sebagai Mendagri, saya siap salah," kata Menteri Tjahjo melalui keterangan tertulis kepada wartawan pada Kamis, 27 Agustus 2105.
Dia mengaku telah menyampaikan perihal pencabutan Surat Edaran itu kepada Presiden Joko Widodo dan pihak terkait, seperti Menteri Luar Negeri dan Kepolisian. Pada pokoknya, peraturan itu segera dinyatakan tidak berlaku.
Menteri Tjahjo juga berterus terang bahwa pembatalan kebijakan itu memang akibat protes keras sejumlah kalangan, terutama kalangan pers nasional. Niatnya baik: mengatur aktivitas jurnalis asing di Indonesia, bukan untuk membatasi atau mengekang kebebasan pers. Tapi belakangan diakui agak bertentangan dengan prinsip kebebasan pers di Indonesia.
Namun dia mengoreksi, kebijakan itu bukan kesalahan Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Soedarmo, sebagai pejabat yang menerbitkan surat itu. "Ini salah saya, bukan salah Dirjen Politik saya."
Polemik
Maklumat Menteri muncul dalam waktu yang relatif singkat, belum tiga hari sejak surat itu diterbitkan dan dikirimkan kepada seluruh pemerintah daerah. Bahkan, pada Kamis siang, Menteri masih bersemangat mengoreksi dan mengklarifikasi segala tuduhan kepadanya yang menyebut pemerintah sedang berupaya membatasi jurnalis asing.
Menteri ketika itu menegaskan tak ada niat sedikit pun untuk membatasi --apalagi mengekang-- jurnalis asing maupun nasional. Pemerintah pun sangat menghormati kemerdekaan pers sebagai bagian dari salah satu pilar demokrasi. Namun Pemerintah merasa perlu mengatur aktivitas jurnalis asing. Pengaturan itu, di antaranya, setiap jurnalis asing wajib mendapatkan izin dari Tim Koordinasi Kunjungan Orang Asing di Kementerian Luar Negeri sebelum menjalankan aktivitasnya di Indonesia.
Prosedur itu, Menteri menjelaskan, hanya perizinan untuk berkegiatan jurnalistik di Indonesia. Mereka yang telah mendapatkan izin, bebas berkegiatan atau melakukan reportase apa pun, tanpa diawasi khusus oleh aparat.
"Pemerintah tidak akan mungkin dan tidak akan mengikuti kegiatan reporter atau kegiatan jurnalistik yang dilakukan oleh jurnalis asing di Indonesia, karena Indonesia adalah negara yang ramah dan bebas," katanya.
Prosedur berlapis
Sebenarnya memang tak ada pernyataan atau klausul yang menyebutkan dengan lugas tentang pembatasan bagi aktivitas jurnalis asing di Indonesia. Menteri pun telah menjamin tak ada pengawasan khusus kepada jurnalis asing saat beraktivitas di Indonesia sepanjang mereka telah mengantongi izin.
Prosedur perizinan pun, kata Menteri, tak berbelit, bakal dibuat sederhana alias dipermudah. Lagi pula, jurnalis asing ibarat tamu yang wajib dihormati, sebagaimana tradisi dan adat istiadat bangsa Indonesia.
Kementerian Dalam Negeri juga memerintahkan kepada seluruh pemerintah daerah agar terbuka terhadap pers Indonesia maupun pers asing untuk dapat menjalankan tugasnya. Itu adalah bagian dari komitmen Pemerintah mendukung dan menghormati kebebasan pers, bukan membatasinya.
Tapi, melihat prosedur perizinan sebagaimana termaktub dalam Surat Edaran Mendagri tentang penyesuaian prosedur kunjungan jurnalistik ke Indonesia, tak keliru-keliru amat kalau disebut pembatasan.
Dalam surat itu dijelaskan: jurnalis asing serta kru film yang hendak melakukan kegiatan di Indonesia harus memiliki izin dari Tim Koordinasi Kunjungan Orang Asing di Kementerian Luar Negeri dan Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri.
Tim Koordinasi Kunjungan Orang Asing (TKKOA) adalah sejenis satuan tugas di Kementerian Luar Negeri. Tim itu terdiri atas berbagai lembaga, seperti Badan Intelijen Negara, Kepolisian, Direktorat Jenderal Imigrasi, dan beberapa unsur pengawasan terkait.
Jurnalis asing masih harus mengantongi izin pemerintah daerah jika aktivitas jurnalistik mereka berada di kota atau kabupaten di Tanah Air. Mereka kudu memiliki izin yang diterbitkan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) tingkat provinsi, kabupaten, atau kota atas kegiatan mereka.
Ketentuan serupa berlaku juga buat jurnalis asing, kru film asing, serta mitra lokal, seperti lembaga swadaya masyarakat asing, yang sudah berada di Indonesia. Mereka diminta untuk segera melaporkan kegiatannya kepada Bakesbangpol. Mereka wajib menunjukkan rekomendasi dan tanda pengenal yang resmi diterbitkan perwakilan Indonesia di luar negeri.
Berbagai ketentuan itu dapat diringkas begini: seorang jurnalis asing harus memperoleh izin dari TKKOA kalau ingin meliput kegiatan apa pun di Indonesia. Kalau tidak, dia akan dicegat di bandara atau pelabuhan dan dipulangkan ke negaranya.
Jurnalis asing yang telah mengantongi izin dari TKKOA, wajib permisi dulu kepada pemerintah daerah, misalnya, hendak meliputi agenda tahunan wisata di Toraja, Sulawesi Selatan. Jika Pemerintah Kabupaten Tana Toraja menolak memberi izin, jurnalis asing itu harus secepatnya pulang ke kampung halamannya.
Berhak mengusir
Prosedurnya sepintas tampak cukup sederhana. Benar yang disebut Menteri: tak berbelit. Namun ada hal yang perlu digarisbawahi: ada petunjuk tersirat bahwa TKKOA maupun Pemerintah Daerah diberi kewenangan mutlak untuk menentukan jurnalis mana yang diizinkan atau sebaliknya.
Artinya, TKKOA berhak menolak permohonan izin jurnalis A untuk menjalankan kegiatan jurnalistik di Indonesia. Begitu juga, umpamanya, Bakesbangpol Pemerintah Kabupaten Tana Toraja diperkenankan melarang jurnalis A meski dia telah mendapatkan izin dari Pemerintah Pusat.
Bagi jurnalis asing yang sudah terlanjur berada di Indonesia, misalnya, dua otoritas itu dibolehkan mengusir atau mendeportasi dengan alasan dan pertimbangan tertentu. Bisa saja pemerintah daerah membuat alasan demi menjaga keamanan dan ketertiban menjelang penyelenggaraan pilkada.
Dalam kalimat yang lebih pendek: Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah akan memilah dan memilih atau meyaring jurnalis asing yang boleh atau tidak boleh berkegiatan di Indonesia. Pokoknya di situ.
Menteri Tjahjo sebelumnya bahkan melegitimasi Surat Edaran yang diterbitkan Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Soedarmo. "...Dirjen Politik dan Pemerintah Umum memang tugasnya untuk melakukan koordinasi demi menjaga stabilitas nasional dan daerah," katanya.
Jurnalis atau intelijen
Soedarmo tak menerangkan dengan terperinci seputar latar belakang atau alasan penerbitan Surat Edaran itu. Dia cuma menyebut, salah satuya --entah sebetulnya ada berapa-- ialah banyak jurnalis asing atau kru film yang datang ke Indonesia hanya menggunakan visa kunjungan, tapi mereka melakukan kegiatan lain. Misalnya, menggunakan visa wisata, mereka datang ke daerah rawan konflik dan mengumpulkan orang untuk mencari informasi tertentu.
Hal itu barangkali merujuk pada peristiwa penahanan dua jurnalis Perancis di Papua. Kedua jurnalis, Thomas Charles Dandois dan Valentine Bourrat, akhirnya dijatuhi hukuman penjara 2 bulan 15 hari dan denda uang Rp2 juta pada 24 Oktober 2014 oleh Pengadilan Negeri Jayapura, Papua. Mereka didakwa melanggar ketentuan imigrasi dan melakukan pekerjaan jurnalisme meski hanya memiliki visa turis.
Menurut Soedarmo, aturan perizinan bagi jurnalis asing itu sebagai salah satu bentuk bahwa Indonesia tegas menjaga kedaulatan negara. Dia mengklaim negara lain pun melakukan hal serupa kepada jurnalis asing. Tak cuma Indonesia. Tujuannya bukan untuk membatasi kebebasan pers, melainkan menjaga kedaulatan negara.
Argumentasi Soedarmo diperkuat pernyataan Menteri Tjahjo. Katanya, tak semua jurnalis asing berniat menjalankan kegiatan jurnalistik di Indonesia. Ada di antara mereka yang mengaku atau beridentitas pers, tetapi sejatinya adalah mata-mata alias intelijen.
"Jangan lihat dia wartawan saja, di sakunya itu apa, intel-kah dia, harus clear (jelas). Apalagi dia masuk ke daerah rawan," kata Menteri beberapa jam sebelum maklumat pencabutan surat edaran itu.
Dia mengingatkan bahwa memang tak semua jurnalis asing patut dicurigai sebagai agen rahasia. Tentu ada jurnalis yang memang bekerja menjalankan kegiatan jurnalistik. Peraturan itu hanya sebagai langkah antisipatif untuk mencegah kalau ditemukan jurnalis asing yang patut dicurigai sebagai mata-mata.
Prosedur perizinan itu melibatkan juga Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan yang membawahi, di antaranya, Badan Intelijen Negara, Kepolisian, dan Tentara Nasional Indonesia. "Izin harus clear (jelas) dulu. Kami konsultasi dengan Menkopolhukam. Jangan sampai dia ternyata agen intelijen," ujarnya.
Kemerdekaan pers
Patut dipuji langkah Menteri yang segera mencabut peraturan itu. Kalau tidak, peraturan itu dapat menjadi ancaman serius bagi kemerdekaan pers di Indonesia. Mulanya hendak diujicobakan kepada jurnalis asing. Disusun prosedur sedemikian rupa sehingga tampak sekadar urusan izin, tapi sesungguhnya membatasi. Kelak ketika prosedur itu dianggap efektif, bukan tak mungkin diterapkan pada pers nasional.
Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers telah ditegaskan "...kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat ... harus dijamin."
Uji coba Pemerintah membatasi aktivitas pers, termasuk jurnalis asing --meski dengan dalih hanya untuk mengatur-- bertentangan dengan Pasal 1 Ayat 8 Undang-Undang itu.
Disebutkan: "Penyensoran adalah penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan, atau tindakan teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dari pihak mana pun, dan atau kewajiban melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik."
Dalam aturan penjelasan pada Undang-Undang itu ditegaskan bahwa "Penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran tidak berlaku pada media cetak dan media elektronik." Ketentuan itu berlaku tak hanya bagi pers nasional, melainkan juga pers asing.
Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Iman D. Nugroho, upaya Pemerintah membatasi jurnalis asing telah mencederai kebebasan pers di Indonesia. Beruntung surat edaran itu dibatalkan. Kalau tidak, Pemerintah justru mengukuhkan ketertutupan akses bagi setiap jurnalis asing yang hendak meliput atau melakukan dokumentasi.
Iman mengingatkan pernyataan Presiden Joko Widodo pada 9 Mei 2015 lalu, saat berkunjung ke Papua, yang menyatakan Papua terbuka untuk jurnalis asing yang hendak meliput. Pernyataan Presiden tentu dapat dimaknai tak hanya berlaku di Papua, melainkan seluruh wilayah Indonesia.
Klub Koresponden Asing di Jakarta (JFCC) mengaku sempat khawatir dengan kebijakan itu. Pembatasan jurnalis asing dianggap seperti membawa keadaan kembali pada zaman rezim Soeharto yang otoriter dan menodai transisi Indonesia menuju demokrasi.
JFCC tak memungkiri ada wartawan asing yang masuk ke Indonesia hanya dengan menggunakan visa turis. Tetapi, hal itu terpaksa mereka lakukan mengingat sulitnya mengurus perizinan yang diterapkan pemerintah Indonesia untuk menyetujui permintaan visa jurnalis.
Penulis : Oleh : Mohammad Arief Hidayat
Sumber : fokus.news.viva.co.id, Jum'at, 28 Agustus 2015, 00:18 WIB.
Komentar
Posting Komentar