Matahari Ada di Atas Kabah Hari Ini, Apa yang Terjadi ?
Hari ini (27 Mei 2019), Matahari akan berada tepat di atas Kabah. Fenomena ini akan mengakibatkan arah kiblat menempati posisi yang pas dengan arah Matahari.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) baru saja memberikan informasi fenomena alam yang bakal terjadi di tahun 2019.
Akun Instagram @infobmkg, Kamis (27/12/2018), mengunggah postingan kalender 2019, diantara fenomena yang bakal terjadi adalah saat matahari berada tepat di atas ka'bah. Fenomena tersebut bakal terjadi pada tanggal 27/28 Mei 2019 pukul 16.18 WIB.
Sementara pada awal tahun depan, tepatnya pada tanggal 12/13 Januari Matahari berada di Antipoda Ka'bah.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) baru saja memberikan informasi fenomena alam yang bakal terjadi di tahun 2019.
Akun Instagram @infobmkg, Kamis (27/12/2018), mengunggah postingan kalender 2019, diantara fenomena yang bakal terjadi adalah saat matahari berada tepat di atas ka'bah. Fenomena tersebut bakal terjadi pada tanggal 27/28 Mei 2019 pukul 16.18 WIB.
Sementara pada awal tahun depan, tepatnya pada tanggal 12/13 Januari Matahari berada di Antipoda Ka'bah.
Fenomena ini disebabkan oleh gerak semu tahunan Matahari, sebagai kombinasi dari perputaran Bumi mengelilingi Matahari dan kemiringan sumbu rotasi Bumi terhadap bidang tegak lurus eliptika sekitar 23,5 derajat. Perpaduan dua faktor ini mengakibatkan posisi Matahari nampak bergeser secara teratur di antara garis lintang 23,5 derajat Lintang Utara hingga 23,5 derajat Lintang Selatan.
Inilah yang disebut dengan gerak semu tahunan Matahari. Matahari akan berada tepat pada posisi Kabah saat senilai dengan lintang Kabah. “Saat deklinasi Matahari tepat +25o 25’ yang senilai dengan garis lintang Kabah, maka fenomena tersebut terjadi.
Dalam setiap tahun Gregorian, dijumpai dua kali fenomena tersebut, yakni di akhir Mei dan pertengahan Juli,” papar Marufin Sudibyo, astronom amatir saat dihubungi oleh Kompas.com, Senin (27/5/2019). Marufin menjelaskan bahwa waktu tepat terjadinya peristiwa ini bergantung pada cara kita mendefinisikan kiblat.
“Jika kiblat adalah Kabah semata dan dengan memperhitungkan apparent diameter Matahari, maka fenomena tersebut terjadi di akhir bulan Mei, tanggal 27, 28, dan 29 Mei 2019, pada jam yang sama, yakni 16:18 WIB,” tuturnya.
“Sebaliknya, bila kiblat adalah lingkaran berdiameter 45 km yang melingkupi segenap tanah haram Mekkah dengan Kabah sebagai pusat lingkaran dan dengan memperhitungkan apparent diameter Matahari, maka fenomena tersebut terjadi pada tanggal 26, 27, 28, 29, dan 30 Mei 2019, pada jam 16:28 WIB,” tambahnya.
Setiap tahunnya, fenomena ini terjadi pada kurun waktu yang sama. Karena posisi tampak Matahari yang tepat berada di atas Ka’bah, maka fenomena ini dapat digunakan untuk mengoreksi arah kiblat.
“Fenomena ini bisa menjadi cara mengetahui arah kiblat secara tepat bagi masjid yang belum diukur arah kiblatnya,” ujar Mutoha Arkanuddin, pendiri Jogja Astro Club.
“Setiap benda yang berdiri tegak akan menghasilkan bayangan yang arahnya menuju kiblat saat tanggal dan jam tersebut. Namun bisa juga dilakukan pada dua hari sebelum atau setelah fenomena, karena masih akurat hasilnya,” tutup Mutoha.
Dampak apakah yang terjadi saat matahari berada di atas Ka'bah?
Berikut penjelasan Ma'rufin Sudibyo, Koordinator Riset Jejaring Rukyatul Hilal Indonesia & Ketua Tim Ahli Badan Hisab dan Rukyat Daerah Kebumen yang diterbitkan Kompas 3/07/2013.
Bagaimana Matahari bisa mengalami situasi seperti itu?
Kuncinya terletak pada Bumi sendiri. Sebagai imbas dari masa lalunya yang demikian menakjubkan, terutama setelah terjadinya hantaman protobumi dengan prototheia di masa bayi tata surya, poros Bumi kita tak lagi tegak lurus, tetapi termiringkan.
Cepatnya rotasi Bumi yang membuat area di sekeliling khatulistiwa menggelembung,
sementara kawasan kutub-kutubnya memepat membuat Bumi turut diganggu oleh gravitasi planet-planet tetangga, khususnya si terang Venus dan si raksasa gas Jupiter.
Akibatnya, kemiringan sumbu rotasi Bumi pun berubah-ubah secara gradual, yakni antara 22,1 hingga 24,5 derajat terhadap bidang tegak lurus ekliptika.
Perubahan ini memiliki periodisitas 45.000 tahun dan menjadi bagian siklus Milankovitch yang turut mengontrol perubahan iklim Bumi hingga ke titik ekstremnya.
Besarnya kemiringan sumbu Bumi saat ini adalah 23,44 derajat dan dalam 9.800 tahun ke depan akan terus menurun hingga mencapai nilai terendahnya, yakni 22,1 derajat.
Saat ini, kutub utara langit, yakni proyeksi sumbu rotasi bumi di langit bagian utara,
mengarah tepat ke bintang Polaris di gugusan bintang Ursa Minor sehingga Polaris pun mendapat kehormatan menyandang status bintang kutub.
Namun, dalam 10.000 tahun mendatang kutub utara langit akan bergeser sedemikian rupa sehingga bakal sangat berdekatan dengan bintang al-Fawaris atau Rukh (delta Cygni) di gugusan bintang Cygnus.
Pergeseran bintang kutub ini merupakan konsekuensi dari miringnya sumbu Bumi yang masih ditambah dengan gangguan gravitasi Venus dan Jupiter.
Penjaga waktu Miringnya sumbu rotasi Bumi berimplikasi pada banyak hal. Salah satunya adalah berubah-ubahnya posisi semu Matahari saat dilihat dari Bumi.
Hal ini merupakan efek yang muncul dari kombinasi kemiringan sumbu rotasi Bumi dengan gerak Bumi mengelilingi Matahari.
Maka, sepanjang tahun Masehi (Tarikh Umum) kita akan menyaksikan proyeksi posisi Matahari di muka Bumi senantiasa bergeser dan bersifat siklik, yakni mulai dari garis khatulistiwa (pada 20/21 Maret) beringsut ke utara hingga menempati garis lintang 23,44 LU (20/21 Juni), lantas kembali lagi ke khatulistiwa (22/23 September).
Kemudian, ke selatan hingga mencapai garis lintang 23,44 LS (21/22 Desember) untuk kemudian kembali lagi ke khatulistiwa.
Jika sepanjang waktu tersebut posisi Matahari diabadikan pada jam yang sama untuk tanggal-tanggal yang berbeda dengan selisih tanggal tetap, kita akan menjumpai pola khas menyerupai angka delapan yang bernama analemma.
Siklus gerak semu Matahari ini menjadi penjaga waktu (time-keeping) untuk sistem penanggalan berbasis Matahari seperti kalender Masehi (Tarikh Umum).
Siklus ini juga menjadikan setiap titik mana pun di muka Bumi yang terletak di antara garis lintang 23,44 LU hingga 23,44 LS akan mengalami situasi di mana Matahari dapat menempati titik zenith-nya dalam bola langit horizon setempat.
Dengan kata lain, di mana pun kita berdiri, sepanjang masih berada di antara garis lintang 23,44 LU hingga 23,44 LS, akan terjadi situasi di mana Matahari bakal tepat berada di atas kepala kita dalam dua kesempatan berbeda setiap tahun Masehi (Tarikh Umum).
Jika hal ini terjadi, tak ada benda yang berdiri tegak lurus muka Bumi atau paras air laut rata-rata yang memiliki bayangannya saat Matahari mencapai puncak kulminasinya.
Jadi, "hari tanpa bayangan" tak hanya sekedar terjadi di garis khatulistiwa saja.
Bagi Jakarta, misalnya, fenomena hari tanpa bayangan akan terjadi setiap tanggal 4/5 Maret dan 8/9 Oktober.
Kabah sebagai pusat kota suci Mekkah terletak pada garis lintang 21,427 LU sehingga juga mengalami fenomena hari tanpa bayangan yang sama, yakni pada tanggal 27/28 Mei pukul 12.17 dan 14/15 Juli pukul 12.27 waktu Mekkah setiap tahunnya.
Namun, dengan konsepsi kiblat sebagai lingkaran berdiameter 45 km yang berpusat di Kabah, fenomena tersebut bakal terjadi pada 26-28/27-29 Mei dan 13-15/14-16 Juli.
Bergantung apakah tahun Matahari yang sedang dijalani merupakan tahun kabisat atau bukan.
Rentang waktu ini merupakan konsekuensi dari bergesernya proyeksi posisi Matahari di muka Bumi sebesar rata-rata 20 km/hari ke arah utara/selatan dari suatu tempat dalam kulminasi atasnya.
Penjaga kiblat
Peran ini sebenarnya juga bisa dilakukan oleh Bulan mau pun benda langit lainnya seperti planet-planet dan bintang-bintang tertentu.
Namun, dengan dominasi Matahari sebagai pusat tata surya sekaligus benda langit terbenderang bagi Bumi, kedudukan Matahari sebagai penjaga kiblat jauh lebih menonjol.
Segenap umat Islam memahami bahwa ibadah shalat belum memenuhi syarat sahnya bila tidak menghadap kiblat.
Namun, shalat tidaklah bertujuan menyembah kiblat, tetapi tetap tertuju kepada Allah SWT karena Allah SWT menitahkan untuk menjadikan Kabah sebagai kiblat.
Umat Islam mendudukkan Kabah sebagai titik fokus yang menjadi bagian ketaatan, baik dalam hal shalat dan ibadah lainnya.
Maupun untuk kepentingan non-ibadah yang menjadi bagian kehidupan manusia sehari-hari ataupun pasca-kehidupan.
Oleh karena itu, arah kiblat tak sekadar terbatas pada masjid/mushala saja.
Tak kalah pentingnya bagi kedudukan toilet maupun permakaman Muslim.
Pentingnya ketaatan dalam berkiblat dan bukan pada sosok bangunannya, nampak pada peristiwa penting menjelang bulan suci Ramadhan yang pertama dijumpai Nabi SAW dan para sahabat pasca-peristiwa hijrah, yakni saat kiblat dipindahkan dari yang semula berada di Baitul Maqdis di Yerusalem menjadi Baitullah (Kabah) di Mekkah.
Ketaatan pada Allah SWT merupakan hal utama bagi Nabi SAW dan para sahabat sehingga tidak menjadi masalah meski harus mengubah arah hadap shalat dengan begitu radikal, yakni dari arah utara-barat laut menjadi selatan, senyampang shalat masih berlangsung.
Peristiwa ini menyuguhkan banyak makna. Salah satunya adalah bahwa hanya dengan perpindahan kiblat inilah di hari-hari ini kita dapat menikmati peranan Matahari sebagai penjaga kiblat yang berkesinambungan.
Hal ini takkan terjadi jika kiblat masih ada di Baitul Maqdis. Sebab, dengan lokasinya di garis lintang 31,78 LU, tempat ini takkan pernah mengalami situasi hari tanpa bayangan sepanjang masa.
Dampak apakah yang terjadi saat matahari berada di atas Ka'bah?
Bagaimana Matahari bisa mengalami situasi seperti itu?
Kuncinya terletak pada Bumi sendiri. Sebagai imbas dari masa lalunya yang demikian menakjubkan, terutama setelah terjadinya hantaman protobumi dengan prototheia di masa bayi tata surya, poros Bumi kita tak lagi tegak lurus, tetapi termiringkan.
Cepatnya rotasi Bumi yang membuat area di sekeliling khatulistiwa menggelembung,
sementara kawasan kutub-kutubnya memepat membuat Bumi turut diganggu oleh gravitasi planet-planet tetangga, khususnya si terang Venus dan si raksasa gas Jupiter.
Akibatnya, kemiringan sumbu rotasi Bumi pun berubah-ubah secara gradual, yakni antara 22,1 hingga 24,5 derajat terhadap bidang tegak lurus ekliptika.
Perubahan ini memiliki periodisitas 45.000 tahun dan menjadi bagian siklus Milankovitch yang turut mengontrol perubahan iklim Bumi hingga ke titik ekstremnya.
Besarnya kemiringan sumbu Bumi saat ini adalah 23,44 derajat dan dalam 9.800 tahun ke depan akan terus menurun hingga mencapai nilai terendahnya, yakni 22,1 derajat.
Saat ini, kutub utara langit, yakni proyeksi sumbu rotasi bumi di langit bagian utara,
mengarah tepat ke bintang Polaris di gugusan bintang Ursa Minor sehingga Polaris pun mendapat kehormatan menyandang status bintang kutub.
Namun, dalam 10.000 tahun mendatang kutub utara langit akan bergeser sedemikian rupa sehingga bakal sangat berdekatan dengan bintang al-Fawaris atau Rukh (delta Cygni) di gugusan bintang Cygnus.
Pergeseran bintang kutub ini merupakan konsekuensi dari miringnya sumbu Bumi yang masih ditambah dengan gangguan gravitasi Venus dan Jupiter.
Penjaga waktu Miringnya sumbu rotasi Bumi berimplikasi pada banyak hal. Salah satunya adalah berubah-ubahnya posisi semu Matahari saat dilihat dari Bumi.
Hal ini merupakan efek yang muncul dari kombinasi kemiringan sumbu rotasi Bumi dengan gerak Bumi mengelilingi Matahari.
Maka, sepanjang tahun Masehi (Tarikh Umum) kita akan menyaksikan proyeksi posisi Matahari di muka Bumi senantiasa bergeser dan bersifat siklik, yakni mulai dari garis khatulistiwa (pada 20/21 Maret) beringsut ke utara hingga menempati garis lintang 23,44 LU (20/21 Juni), lantas kembali lagi ke khatulistiwa (22/23 September).
Kemudian, ke selatan hingga mencapai garis lintang 23,44 LS (21/22 Desember) untuk kemudian kembali lagi ke khatulistiwa.
Jika sepanjang waktu tersebut posisi Matahari diabadikan pada jam yang sama untuk tanggal-tanggal yang berbeda dengan selisih tanggal tetap, kita akan menjumpai pola khas menyerupai angka delapan yang bernama analemma.
Siklus gerak semu Matahari ini menjadi penjaga waktu (time-keeping) untuk sistem penanggalan berbasis Matahari seperti kalender Masehi (Tarikh Umum).
Siklus ini juga menjadikan setiap titik mana pun di muka Bumi yang terletak di antara garis lintang 23,44 LU hingga 23,44 LS akan mengalami situasi di mana Matahari dapat menempati titik zenith-nya dalam bola langit horizon setempat.
Dengan kata lain, di mana pun kita berdiri, sepanjang masih berada di antara garis lintang 23,44 LU hingga 23,44 LS, akan terjadi situasi di mana Matahari bakal tepat berada di atas kepala kita dalam dua kesempatan berbeda setiap tahun Masehi (Tarikh Umum).
Jika hal ini terjadi, tak ada benda yang berdiri tegak lurus muka Bumi atau paras air laut rata-rata yang memiliki bayangannya saat Matahari mencapai puncak kulminasinya.
Jadi, "hari tanpa bayangan" tak hanya sekedar terjadi di garis khatulistiwa saja.
Bagi Jakarta, misalnya, fenomena hari tanpa bayangan akan terjadi setiap tanggal 4/5 Maret dan 8/9 Oktober.
Kabah sebagai pusat kota suci Mekkah terletak pada garis lintang 21,427 LU sehingga juga mengalami fenomena hari tanpa bayangan yang sama, yakni pada tanggal 27/28 Mei pukul 12.17 dan 14/15 Juli pukul 12.27 waktu Mekkah setiap tahunnya.
Namun, dengan konsepsi kiblat sebagai lingkaran berdiameter 45 km yang berpusat di Kabah, fenomena tersebut bakal terjadi pada 26-28/27-29 Mei dan 13-15/14-16 Juli.
Bergantung apakah tahun Matahari yang sedang dijalani merupakan tahun kabisat atau bukan.
Rentang waktu ini merupakan konsekuensi dari bergesernya proyeksi posisi Matahari di muka Bumi sebesar rata-rata 20 km/hari ke arah utara/selatan dari suatu tempat dalam kulminasi atasnya.
Penjaga kiblat
Video : "Koreksi kiblat saat matahari di atas Ka'bah"
Inilah waktu di mana Matahari memerankan dirinya sebagai penjaga kiblat (qibla-keeping) sehingga setiap titik di muka Bumi yang tersinarinya dapat menyejajarkan arah kiblat setempatnya dengan leluasa.Peran ini sebenarnya juga bisa dilakukan oleh Bulan mau pun benda langit lainnya seperti planet-planet dan bintang-bintang tertentu.
Namun, dengan dominasi Matahari sebagai pusat tata surya sekaligus benda langit terbenderang bagi Bumi, kedudukan Matahari sebagai penjaga kiblat jauh lebih menonjol.
Segenap umat Islam memahami bahwa ibadah shalat belum memenuhi syarat sahnya bila tidak menghadap kiblat.
Namun, shalat tidaklah bertujuan menyembah kiblat, tetapi tetap tertuju kepada Allah SWT karena Allah SWT menitahkan untuk menjadikan Kabah sebagai kiblat.
Umat Islam mendudukkan Kabah sebagai titik fokus yang menjadi bagian ketaatan, baik dalam hal shalat dan ibadah lainnya.
Maupun untuk kepentingan non-ibadah yang menjadi bagian kehidupan manusia sehari-hari ataupun pasca-kehidupan.
Oleh karena itu, arah kiblat tak sekadar terbatas pada masjid/mushala saja.
Tak kalah pentingnya bagi kedudukan toilet maupun permakaman Muslim.
Pentingnya ketaatan dalam berkiblat dan bukan pada sosok bangunannya, nampak pada peristiwa penting menjelang bulan suci Ramadhan yang pertama dijumpai Nabi SAW dan para sahabat pasca-peristiwa hijrah, yakni saat kiblat dipindahkan dari yang semula berada di Baitul Maqdis di Yerusalem menjadi Baitullah (Kabah) di Mekkah.
Ketaatan pada Allah SWT merupakan hal utama bagi Nabi SAW dan para sahabat sehingga tidak menjadi masalah meski harus mengubah arah hadap shalat dengan begitu radikal, yakni dari arah utara-barat laut menjadi selatan, senyampang shalat masih berlangsung.
Peristiwa ini menyuguhkan banyak makna. Salah satunya adalah bahwa hanya dengan perpindahan kiblat inilah di hari-hari ini kita dapat menikmati peranan Matahari sebagai penjaga kiblat yang berkesinambungan.
Hal ini takkan terjadi jika kiblat masih ada di Baitul Maqdis. Sebab, dengan lokasinya di garis lintang 31,78 LU, tempat ini takkan pernah mengalami situasi hari tanpa bayangan sepanjang masa.
Penyusun : Yohanes Gitoyo, S Pd.
Terimakasih infonya,.
BalasHapusmari gabung bersama kami di Aj0QQ*c0M
BalasHapusBONUS CASHBACK 0.3% setiap senin
BONUS REFERAL 20% seumur hidup.