Untuk Mendidik : Jangan Beri Uang pada Pengemis !
Mengapa? Karena dengan memberi uang pada pengemis berarti anda telah berkontribusi dalam memupuk kebiasaan mengemis, kebiasaan malas bekerja. Contoh gambar-gambar ini, mereka asyik tidur di siang hari bolong tatkala rekan-rekannya yang lain sedang sibuk menjajakan koran/ makanan / minuman, menjadi tukang rongsokan atau memulung atau mengerjakan pekerjaan halal lainnya.
"Kelompok Pengemis" asyik tidur siang di jalan A. Yani Bandung
Kasus pengemis memang beragam. Ada yang menjadikan itu sebagai profesi sehingga mereka mengerjakan dengan sungguh-sungguh. Ada yang malas bekerja seperti gambar-gambar diatas, tidur ketika ingin tidur, mengemis ketika tidak ada uang untuk membeli makanan dan marah-marah apabila diberi uang recehan dibawah nominal Rp 500,00.
Selain itu sebetulnya pemberian uang pada pengemis/pengamen/pengelap kaca mobil merupakan pelanggaran peraturan daerah setempat. DKI Jakarta mempunyai Perda Nomor 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum pasal 40 c yang menyebutkan bahwa setiap orang atau badan dilarang memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen dan pengelap mobil. Pelanggar pasal tersebut dapat dikenai ancaman pidana kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 hari atau denda paling sedikit Rp 100 ribu dan paling banyak Rp 20 juta.
Kotamadya Bandung mempunyai Perda Nomor 03 tahun 2005 pasal 39a tentang larangan menggelandang/mengemis di tempat dan di muka umum serta fasilitas sosial lainnya serta pasal 39c tentang larangan mengamen, mencari upah jasa dari pengelapan mobil dan usaha lainnya di simpang jalan, lampu merah. Bagi pelanggar akan terkena ancaman pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan atau denda paling banyak Rp 50 juta. Kota lain silakan tanya pakde Google, umumnya ada. Baik ditujukan pada si pemberi atau pada si pengemis.
Tujuan disusun dan disahkan Peraturan Daerah tentunya baik. Tidak sekedar untuk keindahan kota tetapi juga untuk penertiban dan shock therapy. Karena tanpa ketrampilan mereka mampu meraup puluhan ribu rupiah per hari hanya dengan menengadahkan tangan dan bermodalkan “tebal muka”.
Apalagi apabila dia kebetulan penderita cacat tubuh (penyandang disabilitas). Uang yang diraupnya bisa lebih dari Rp 100 ribu per hari. Tetapi seperti halnya pengemis yang kebetulan berfisik lengkap, pengemis penyandang disabilitas sebetulnya mempunyai pilihan. Pilihan untuk tidak mengemis. Bahkan pilihan bekerja di sektor formal.
Selain itu sebetulnya pemberian uang pada pengemis/pengamen/pengelap kaca mobil merupakan pelanggaran peraturan daerah setempat. DKI Jakarta mempunyai Perda Nomor 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum pasal 40 c yang menyebutkan bahwa setiap orang atau badan dilarang memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen dan pengelap mobil. Pelanggar pasal tersebut dapat dikenai ancaman pidana kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 hari atau denda paling sedikit Rp 100 ribu dan paling banyak Rp 20 juta.
Kotamadya Bandung mempunyai Perda Nomor 03 tahun 2005 pasal 39a tentang larangan menggelandang/mengemis di tempat dan di muka umum serta fasilitas sosial lainnya serta pasal 39c tentang larangan mengamen, mencari upah jasa dari pengelapan mobil dan usaha lainnya di simpang jalan, lampu merah. Bagi pelanggar akan terkena ancaman pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan atau denda paling banyak Rp 50 juta. Kota lain silakan tanya pakde Google, umumnya ada. Baik ditujukan pada si pemberi atau pada si pengemis.
Tujuan disusun dan disahkan Peraturan Daerah tentunya baik. Tidak sekedar untuk keindahan kota tetapi juga untuk penertiban dan shock therapy. Karena tanpa ketrampilan mereka mampu meraup puluhan ribu rupiah per hari hanya dengan menengadahkan tangan dan bermodalkan “tebal muka”.
Apalagi apabila dia kebetulan penderita cacat tubuh (penyandang disabilitas). Uang yang diraupnya bisa lebih dari Rp 100 ribu per hari. Tetapi seperti halnya pengemis yang kebetulan berfisik lengkap, pengemis penyandang disabilitas sebetulnya mempunyai pilihan. Pilihan untuk tidak mengemis. Bahkan pilihan bekerja di sektor formal.
Pengemis di depan toko buku Gramedia-Merdeka, Bandung.
Sebagai contoh ibu tunanetra yang mengemis di depan toko buku Gramedia Bandung (gambar atas). Di rumahnya pasti dia mampu mengerjakan tugas rumah tangga sehingga dia bisa menjadi pembantu rumah tangga (nonskill) dan bekerja di sektor formal sesuai pendidikan yang dia tempuh.
Untuk bekerja di sektor formal, seorang penyandang disabilitas memang harus berjuang 2 kali lebih berat dibanding seseorang yang memiliki fisik normal. Karena pemerintah masih setengah hati menerapkan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 yang mencantumkan bahwa penyandang disabilitas memperoleh hak ketenagakerjaan sebesar 1 persen. Artinya setiap 100 orang pekerja, perusahaan wajib menerima 1 orang penyandang disabilitas. Tapi jangankan di perusahaan swasta, seorang penyandang disabilitas harus tersaruk-saruk untuk meraih mimpi sebagai pegawai negeri.
Di tahun 2009, penulis mendampingi sekitar 20 penyandang disabilitas yang ingin mandiri. Mereka mengikuti berbagai pelatihan dengan tujuan membangun usaha sendiri. Hanya 3 orang yang mampu menyelesaikan semua latihan. Sayangnya karena kesulitan menjalankan aktivitas membeli bahan baku dan pemasaran, mereka gagal menjadi pelaku UKM dan memilih menjadi pelatih kerajinan. Sekarang di setiap kegiatan komunitas, merekalah pelatih kerajinannya. Penghasilannya memang tidak seberapa, tergantung ada kegiatan pelatihan atau tidak. Tetapi mereka telah berjasa melatih ribuan orang. Mulai dari ibu-ibu komunitas, anak-anak SMPN dan SMAN serta para tahanan dan narapidana wanita. Bahkan 2 orang dosen ITB pernah mereka latih.
Sesama penyandang disabilitas menuju Majalaya, memilih jadi pengemis (kiri), Yani (kanan) menjadi pelatih kerajinan ibu2
Membanggakan bukan? Mereka memilih jalur yang menjungjung tinggi harga diri. Tidak hanya untuk dirinya tapi juga untuk anak-anaknya. Berkat mereka jugalah, penulis mengetahui banyak kisah. Diantaranya kisah tetangga salah seorang dari mereka yang kebetulan penyandang disabilitas dan memilih menjadi pengemis. Berangkat “kerja” di pagi hari baju mereka rapi dan modis, berganti baju di WC stasiun kereta api, mengemis hingga sore kemudian pulang dengan baju modisnya. Penghasilan mereka? Wow, …….. hitung saja 4 orang x Rp 100.000 (minimal) x 26 hari (merekapun punya hari libur kerja) = Rp 10.400.000. Itu jumlah minimal, jumlah riilnya mungkin 2-3 x lipat karena mereka mempunyai kendaraan roda empat yang tersimpan rapi di garasinya.
Tentu saja semua orang punya alasan dalam bertindak. Baik si pemilik uang maupun si pengemis. Tetapi untuk menyalurkan sedekah, umat Islam mempunyai BAZ, PKPU, Rumah Zakat dan lembaga zakat lainnya yang memudahkan urusan dengan penyediaan transfer ATM. Demikian juga umat Kristiani, Budha dan Hindu mempunyai sistemnya masing-masing.
Masih nggak sreg, ingin memberikan secara langsung? Ustadz Aam Amirudin memberikan kiatnya yaitu memberikan uang lebih besar dari yang seharusnya pada tukang koran, anak-anak/ibu-ibu penjual makanan dan anak kecil yang sering menyewakan payung (ojek payung). Sedangkan ustadz Budi Prayitno mengajak mengumpulkan uang dalam kencleng, membelikan nasi bungkus dan membagikannya pada para pemulung dan tukang sampah. Intinya sih mengajak kita untuk sedikit berusaha dan melangkahkan kaki dalam bersedekah yaitu memberi pada mereka yang telah mau bekerja dengan giat namun berpenghasilan minim. Dalam bentuk apapun.
Karena kemalasan kita berarti memupuk kemalasan pengemis. Pengemis akan tumbuh subur seiring makin melebarnya jurang si miskin dan si kaya. Pilihan si miskin untuk menjadi pengemis adalah haknya. Sama halnya dengan kita, si pemilik uang receh. Mau memberikan uang tersebut agar si pengamen bersuara sumbang segera pergi atau bersikukuh tidak mau memberi.
Ibarat orang tua yang mendidik anak manja yang terus-terusan menangis dan merengek minta uang jajan. Tidak diberi, menjengkelkan karena membuat sakit telinga. Diberi, akan menjadi kebiasaan buruk karena dia tahu dengan menangis meraung-raung maka uang jajan akan selalu diberi. Perbedaannya, kita bisa mengarahkan anak dengan kasih sayang. Tidak demikian halnya dengan pengemis. Perlu ketegasan, karena sebetulnya mereka mempunyai perasaan malu juga.
Contohnya gambar dibawah ini, ketika memotret tiga orang pengemis yang sedang asyik tidur siang di jembatan penyeberangan jalan Asia-Afrika, Bandung, di depan gedung bersejarah Indonesia, tempat berlangsungnya Konferensi Asia Afrika 1955 ………..eh si pengemis perempuan bangun dan memarahi penulis: “Ngapain foto-foto?” Sambil pergi dan tersenyum dalam hati, penulis menjawab: ” Salah sendiri tidur di tempat umum”.
Penulis : Maria Hardayanto
http://lifestyle.kompasiana.com/, 23 February 2012,10:50
Komentar
Posting Komentar