UU Perkawinan Tak Melindungi Perempuan ?
Sejumlah pasal dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) masih mendiskriminasikan perempuan. Terutama terkait usia perkawinan yang masih membedakan perempuan dan laki-laki. Tak hanya itu, peran perempuan dan laki-laki dalam perkawinan yang tak setara juga menunjukkan adanya ketidakadilan bagi perempuan.
Gugatan mantan istri Bambang Triatmodjo, Halimah Agustina Kamil, terhadap UU Perkawinan menjadi contoh nyatanya. Halimah, dalam pokok permohonannya, meminta agar Mahkamah Konstitusi menghapus Pasal 39 Ayat (2) huruf f UU No 1/1974 tentang Perkawinan yang berbunyi "untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri".
Perceraian Halimah dan Bambang pada 23 Desember 2010 lalu menunjukkan bagaimana laki-laki lebih memiliki kuasa dalam memutuskan sebuah ikatan perkawinan, dengan alasan ketidakcocokan atau tak rukun. Sementara Halimah, yang berusaha mempertahankan perkawinan, "tak berdaya" untuk tunduk pada keputusan perceraian tersebut.
Kasus Halimah hanya salah satu contoh bagaimana UU Perkawinan tak lagi sejalan dalam mengatur hubungan pernikahan. Ninik Rahayu, Komisioner Komnas Perempuan, mengatakan banyak pasal di UU Perkawinan yang tak sejalan.
"UU No 1/1974 masih diskriminatif terhadap perempuan, tidak memberikan perlindungan kepada perempuan. Ada relasi yang tak sama antara perempuan dan laki-laki. Begitu banyak persoalan masyarakat yang tidak diakomodasi Undang-Undang ini. Perlu dilakukan pembahasan pada UU No 1 tahun 1974 ini," jelasnya saat dihubungi Kompas Female beberapa waktu lalu.
Tak hanya Halimah dan Komnas Perempuan yang menyoroti UU Perkawinan No 1 Tahunn 1974. Plan Indonesia, organisasi kemanusiaan yang fokus pada perlindungan dan pemberdayaan anak, juga menyatakan sikapnya mengenai UU No 1/1974 ini.
Plan mendorong negara juga kekuatan sosial untuk melakukan amandemen terhadap UU No 1 Tahun 1974, yang isinya bertentangan dengan Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (UN-CEDAW) serta Konvensi Internasional Hak Anak (UN-CRC).
Diskriminasi usia perkawinan
Menurut Plan Indonesia, perlu ada upaya untuk menyelaraskan undang-undang dan peraturan pemerintah dengan sejumlah konvensi internasional yang sudah diratifikasi.
Bagi Plan, hukum perkawinan masih mendiskriminasikan perempuan, dengan membedakan usia minimal kawin perempuan, yang lebih rendah (16 tahun) dibandingkan dengan laki-laki (19 tahun).
Hasil penelitian Plan Indonesia di delapan kabupaten di seluruh Indonesia selama Januari – April 2011 menunjukkan tingginya angka pernikahan dini. Hasil penelitian ini mengungkap fakta, 33,5 persen anak usia 13 – 18 tahun pernah menikah, dan rata-rata mereka menikah di usia 15-16 tahun.
Wilayah penelitian mencakup Kabupaten Indramayu (Jawa Barat), Grobogan, Rembang (Jawa Tengah), Tabanan (Bali), Dompu (NTB), Timor Tengah Selatan, Sikka dan Lembata (NTT).
”Walaupun tidak mewakili seluruh populasi di Indonesia, temuan ini bisa menjadi gambaran kasus pernikahan dini secara umum di Tanah Air. Batasan umur anak juga harus diselaraskan antara UU Perkawinan, UU Kesehatan UU Kewarganegaraan UU Perlindungan Anak, dan UU lain yang relevan dengan isu anak dan perkawinan anak,” jelas Bekti Andari, Gender Specialist
Plan Indonesia, melalui siaran persnya.
Kriminalisasi perkawinan
Bekti juga mengungkapkan, di tingkat lokal, sering terjadi penyelewengan dalam mengimplementasikan hukum perkawinan, sehingga anak menjadi korban dan semakin kehilangan hak-haknya.
"Di beberapa daerah orang tua masih bisa menyuap aparat terkait untuk memanipulasi umur anaknya yang akan dinikahkan,” jelas Bekti.
Komnas Perempuan dan Plan Indonesia menyoroti pentingnya menguji kembali UU No 1/1974 tentang perkawinan. Fokus utama Plan adalah pada soal usia anak, terkait dengan hak dan perlindungan anak. Sementara Komnas Perempuan, menyoroti beberapa hal.
Ninik yang menjabat sebagai anggota Subkomisi Reformasi Hukum dan Kebijakan mengatakan Komnas Perempuan mengusulkan perubahan pada defenisi perkawinan, peran suami dan istri, usia perkawinan, serta terkait identitas hukum seseorang (pencatatan perkawinan).
Perubahan dan pengujian kembali UU No 1/1974 ini diperlukan untuk melindungi perempuan, menghapuskan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, juga mencegah kriminalisasi terhadap perkawinan.
Soal kriminalisasi perkawinan, Ninik menjelaskan, "Pencatatan perkawinan harus dipermudah mekanismenya. Banyak orang sulit mendapatkan akses pencatatan perkawinan, terutama di desa. Banyak oknum yang tidak mencatatkan perkawinan. Akhirnya terjadi kriminalisasi pencatatan perkawinan. Termasuk perkawinan siri yang berpotensi dikriminalkan."
Penulis : Wardah Fazriyati
Editor : wawa
Sumber: http://female.kompas.com/, Selasa, 27 September 2011, 14:58 WIB.
Komentar
Posting Komentar