Vonis Hukuman Mati Melanggar Konstitusi dan HAM
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Denny Indrayana menilai, hukuman mati di Indonesia tidak bisa dihilangkan.
Untuk kasus-kasus tertentu, seperti korupsi dan narkoba, menurut Denny hukuman mati bisa dijadikan sebagai the last resort (upaya hukum pidana terakhir), bukan pidana pokok.
Berbeda dengan Denny, dua pembicara lain dalam diskusi "Hari Anti Hukuman Mati Sedunia" di Hotel Aryaduta, Jakarta, Rabu 10 Oktober 2012, Leica Marzuki dan Hendardi, menolak hukuman mati.
Leica Marzuki menilai, hukuman mati bertentangan dengan UUD 1945. Karenanya, hukuman mati menurut mantan Hakim Konstitusi itu jelas melanggar konstitusi.
"UUD 1945 menempati hierarki tertinggi dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Hak untuk hidup adalah Hak Asasi Manusia yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun. Itu jelas sekali," kata dia.
Pasal 28 ayat 1 UUD 1945, ujar Leica, tidak hanya menjamin hak setiap warga negara, tapi juga setiap umat mannusia. Pasal ini tidak berkaitan dengan pasal 28 J ayat 1 UUD 1945, pada perubahan ke-3, maka hak untuk hidup adalah penegasan inheren dari sila ke-2.
"Saya tidak setuju hidup seseorang berada di hadapan regu tembak dan tiang gantungan. Untuk itu, UU itu di bawah konstitusi, maka ketika UU itu menyimpang dengan UUD 1945 niscaya inkonstitusional," kata Leica.
Senada dengan Leica, Dewan Pendiri Imparsial, Hendardi mengatakan, praktik hukuman mati sudah bisa dikatakan sebagai sesuatu yang kejam. Bahkan, tidak manusiawi.
Dalam pandangan Hendardi, manusia memiliki hak paling fundamental dan mutlak. Yakni hak untuk hidup. "Hak untuk hidup itu fundamental dan tidak boleh dicabut dalam situasi apapun. Kalau dicabut itu melanggar HAM," ujar Hendardi.
Hendardi menerangkan, jaminan hak untuk hidup sudah ditegaskan dalam hukum dan juga dalam konstitusi. "Jaminan itu tidak bisa dicabut, tapi Indonesia masih menerapkan. Sikap ini ambigu, menjamin hak hidup, tapi masih adopsi hukuman mati," kata dia.
Pasal 28 ayat 1 UUD 1945, ujar Leica, tidak hanya menjamin hak setiap warga negara, tapi juga setiap umat mannusia. Pasal ini tidak berkaitan dengan pasal 28 J ayat 1 UUD 1945, pada perubahan ke-3, maka hak untuk hidup adalah penegasan inheren dari sila ke-2.
"Saya tidak setuju hidup seseorang berada di hadapan regu tembak dan tiang gantungan. Untuk itu, UU itu di bawah konstitusi, maka ketika UU itu menyimpang dengan UUD 1945 niscaya inkonstitusional," kata Leica.
Senada dengan Leica, Dewan Pendiri Imparsial, Hendardi mengatakan, praktik hukuman mati sudah bisa dikatakan sebagai sesuatu yang kejam. Bahkan, tidak manusiawi.
Dalam pandangan Hendardi, manusia memiliki hak paling fundamental dan mutlak. Yakni hak untuk hidup. "Hak untuk hidup itu fundamental dan tidak boleh dicabut dalam situasi apapun. Kalau dicabut itu melanggar HAM," ujar Hendardi.
Hendardi menerangkan, jaminan hak untuk hidup sudah ditegaskan dalam hukum dan juga dalam konstitusi. "Jaminan itu tidak bisa dicabut, tapi Indonesia masih menerapkan. Sikap ini ambigu, menjamin hak hidup, tapi masih adopsi hukuman mati," kata dia.
Untuk itu, Hendardi meminta kepada pemerintah segera menghapus hukuman mati. Tidak ada catatan statistik yang menunjukan hukuman mati membuat efek jera dan mengurangi tingkat kejahatan. "Hidup mati itu di tangan Tuhan," katanya.
Penulis : Aries Setiawan, Oscar Ferri
Sumber : http://nasional.news.viva.co.id/, Rabu, 10 Oktober 2012, 14:08
Penulis : Aries Setiawan, Oscar Ferri
Sumber : http://nasional.news.viva.co.id/, Rabu, 10 Oktober 2012, 14:08
Komentar
Posting Komentar