Menguak Mitos Penyakit "Hantu Laut"
ARTIKEL KESEHATAN.
Sebagian masyarakat pesisir meyakini bahwa penyakit kelumpuhan yang diderita para penyelam tradisional akibat diganggu oleh ”hantu laut”. Padahal, gangguan kesehatan itu sebenarnya penyakit dekompresi karena penyelaman dilakukan tidak sesuai dengan prosedur keselamatan.
Karena kurang informasi dan keterbatasan fasilitas, penyelam tradisional cenderung menggunakan alat seadanya, seperti kompresor tambal ban, untuk memasok udara saat menyelam ke dasar laut. Mereka bekerja sampai setengah hari di dalam laut untuk mengambil teripang, kerang, dan sisa barang di kapal karam. Hal itu berisiko tinggi terhadap kesehatan.
Susan H Manungkalit, dokter spesialis kelautan dari Rumah Sakit Angkatan Laut Mintohardjo, Jakarta, mengatakan, penyakit dekompresi disebabkan oleh mengembangnya secara mendadak gelembung udara dalam cairan tubuh saat penyelam naik ke permukaan air secara tiba-tiba. Ibaratnya, saat kita membuka botol air berkarbonasi, dengan tiba-tiba akan terlihat gelembung udara.
Susan menyatakan, hal itu berdasarkan hukum fisika Henry. Saat di permukaan, tekanan udara sebesar 1 atmosfer (atm) atau 760 milimeter Hg (mmHg) yang terdiri atas 20,9 persen oksigen dan 78,084 persen nitrogen. Selain itu, ada juga komponen lain dalam jumlah kecil, yaitu karbon dioksida, argon, neon, helium, kripton, xenon, hidrogen, metana, dan nitro oksida.
Ketika menyelam, setiap kedalaman 10 meter, tekanan udara bertambah 1 atm. Tekanan dari tiap gas ikut meningkat. Oksigen menjadi 0,4 atm dan nitrogen menjadi 1,6 atm. Sebagai gambaran, pada kedalaman 5 atm atau 40 meter, penyelam yang menghirup udara biasa dari tabung selam menghirup oksigen dengan tekanan parsial yang sama (1 atm) bila ia menghirup 100 persen oksigen di permukaan air.
Pada saat menyelam, volume udara yang mengecil karena tekanan air membuat gelembung udara mudah masuk ke dalam pembuluh darah.
Gelembung terperangkap
Dalam buku Pengantar Ilmu Kesehatan Penyelaman dinyatakan, oksigen yang dibutuhkan metabolisme manusia akan mudah terserap jaringan tubuh. Namun, nitrogen terlarut, yang tidak digunakan oleh tubuh, terakumulasi di pembuluh darah. Jika penyelaman berlangsung lama dan dalam, molekul udara, termasuk nitrogen, masuk ke simpul saraf.
Ketika penyelam naik ke permukaan terlalu cepat, gelembung udara yang terperangkap dalam sistem saraf tak sempat dilepaskan dan mengembang akibat tekanan berkurang mendadak, gelembung udara itu menekan saraf dan membuat bagian tubuh tidak bisa berfungsi. Hal inilah yang dianggap masyarakat pesisir sebagai penyakit hantu laut.
”Kalau molekul udara menekan medula spinalis (saraf di tengkuk) bisa menyebabkan kelumpuhan tangan dan kaki,” katanya.
Susan yang juga mengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mengibaratkan dekompresi seperti penyakit stroke. Bedanya, pada penyakit stroke penyumbat pembuluh darah adalah trombus (bekuan darah), sedangkan pada penyakit dekompresi penyumbatnya adalah gelembung udara (nitrogen).
Efeknya mirip, yaitu mati rasa, lumpuh, hingga kehilangan kesadaran. Adapun efek ringan dari dekompresi antara lain nyeri sendi, nyeri otot, atau gatal-gatal di kulit.
Menurut US Navy Diving Manual Revision 5, risiko terjadinya dekompresi pada orang yang menyelam selama 1 jam adalah 42 persen, pada penyelaman 3 jam 60 persen, penyelaman 8 jam risikonya 83 persen, dan penyelaman 24 jam risiko mengalami dekompresi 98 persen.
Terapi hiperbarik
Untuk mengatasi itu, penderita dekompresi harus segera dibawa ke rumah sakit dengan fasilitas hiperbarik oksigenasi, seperti di RSAL Mintohardjo. Metode pengobatan disebut selam kering. Dalam ruang hiperbarik, pasien diberi terapi tekanan tertentu selama waktu tertentu. Tujuannya melarutkan gelembung udara, kemudian tubuh diberi kesempatan melepaskan perlahan-lahan.
Susan mengatakan, korban dapat sembuh jika diterapi dalam jangka waktu kurang dari enam jam setelah kejadian. Jika lebih dari itu, jaringan yang tersumbat dikhawatirkan telah mati sehingga ada gejala sisa.
Di lapangan, jika hal ini terjadi dan penyelam masih sadar, korban dapat dibawa kembali ke kedalaman sekitar 9 meter dan diberi oksigen murni. Jika tidak tersedia oksigen murni, cukup membawa penyelam ke kedalaman semula, kemudian naik ke permukaan sesuai prosedur sehingga nitrogen yang terlarut terlepas dari tubuh.
Harijanto Mahdi, dokter spesialis Kelautan dan spesialis Telinga Hidung Tenggorokan yang juga Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Kelautan (Perdokla), menyatakan, penyakit dekompresi jarang terjadi pada penyelam profesional dan Marinir. Hal itu karena mereka diberi pendidikan keselamatan.
Penelitian Susan di Kepulauan Seribu, tahun 1995, menunjukkan, sekitar 51,8 persen nelayan penyelam setempat menderita penyakit dekompresi.
Ia menambahkan, orang yang sebelum menyelam mengonsumsi alkohol, keletihan, dan kegemukan, tergolong berisiko terkena penyakit ini. Namun dengan melakukan penyelaman yang aman dan mengikuti tabel penyelaman (dari organisasi POSSI/CMAS, PADI, ADS, atau US Navy), seperti naik perlahan-lahan, memerhatikan batas-batas kedalaman, dan durasi penyelaman, risiko terjadinya penyakit itu sangat kecil. US Navy Diving Manual mensyaratkan seorang penyelam bergerak naik maksimum dengan kecepatan 60 kaki (sekitar 18 meter) per menit.
Bawah laut bukanlah alam bagi manusia. Banyak hal bisa terjadi ketika kita tidak dapat beradaptasi. Namun dengan prinsip kehati-hatian dan kewaspadaan didukung kemajuan teknologi dan penelitian serta memerhatikan aturan penyelaman, kita dapat mengeksplorasi bawah laut dengan aman tanpa perlu takut dihinggapi hantu laut.
Penulis : Ichwan Susanto
Sumber : http://health.kompas.com/, Selasa, 31 Mei 2011 | 06:53 WIB
Sebagian masyarakat pesisir meyakini bahwa penyakit kelumpuhan yang diderita para penyelam tradisional akibat diganggu oleh ”hantu laut”. Padahal, gangguan kesehatan itu sebenarnya penyakit dekompresi karena penyelaman dilakukan tidak sesuai dengan prosedur keselamatan.
Karena kurang informasi dan keterbatasan fasilitas, penyelam tradisional cenderung menggunakan alat seadanya, seperti kompresor tambal ban, untuk memasok udara saat menyelam ke dasar laut. Mereka bekerja sampai setengah hari di dalam laut untuk mengambil teripang, kerang, dan sisa barang di kapal karam. Hal itu berisiko tinggi terhadap kesehatan.
Susan menyatakan, hal itu berdasarkan hukum fisika Henry. Saat di permukaan, tekanan udara sebesar 1 atmosfer (atm) atau 760 milimeter Hg (mmHg) yang terdiri atas 20,9 persen oksigen dan 78,084 persen nitrogen. Selain itu, ada juga komponen lain dalam jumlah kecil, yaitu karbon dioksida, argon, neon, helium, kripton, xenon, hidrogen, metana, dan nitro oksida.
Ketika menyelam, setiap kedalaman 10 meter, tekanan udara bertambah 1 atm. Tekanan dari tiap gas ikut meningkat. Oksigen menjadi 0,4 atm dan nitrogen menjadi 1,6 atm. Sebagai gambaran, pada kedalaman 5 atm atau 40 meter, penyelam yang menghirup udara biasa dari tabung selam menghirup oksigen dengan tekanan parsial yang sama (1 atm) bila ia menghirup 100 persen oksigen di permukaan air.
Pada saat menyelam, volume udara yang mengecil karena tekanan air membuat gelembung udara mudah masuk ke dalam pembuluh darah.
Gelembung terperangkap
Dalam buku Pengantar Ilmu Kesehatan Penyelaman dinyatakan, oksigen yang dibutuhkan metabolisme manusia akan mudah terserap jaringan tubuh. Namun, nitrogen terlarut, yang tidak digunakan oleh tubuh, terakumulasi di pembuluh darah. Jika penyelaman berlangsung lama dan dalam, molekul udara, termasuk nitrogen, masuk ke simpul saraf.
Ketika penyelam naik ke permukaan terlalu cepat, gelembung udara yang terperangkap dalam sistem saraf tak sempat dilepaskan dan mengembang akibat tekanan berkurang mendadak, gelembung udara itu menekan saraf dan membuat bagian tubuh tidak bisa berfungsi. Hal inilah yang dianggap masyarakat pesisir sebagai penyakit hantu laut.
”Kalau molekul udara menekan medula spinalis (saraf di tengkuk) bisa menyebabkan kelumpuhan tangan dan kaki,” katanya.
Susan yang juga mengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mengibaratkan dekompresi seperti penyakit stroke. Bedanya, pada penyakit stroke penyumbat pembuluh darah adalah trombus (bekuan darah), sedangkan pada penyakit dekompresi penyumbatnya adalah gelembung udara (nitrogen).
Efeknya mirip, yaitu mati rasa, lumpuh, hingga kehilangan kesadaran. Adapun efek ringan dari dekompresi antara lain nyeri sendi, nyeri otot, atau gatal-gatal di kulit.
Menurut US Navy Diving Manual Revision 5, risiko terjadinya dekompresi pada orang yang menyelam selama 1 jam adalah 42 persen, pada penyelaman 3 jam 60 persen, penyelaman 8 jam risikonya 83 persen, dan penyelaman 24 jam risiko mengalami dekompresi 98 persen.
Terapi hiperbarik
Untuk mengatasi itu, penderita dekompresi harus segera dibawa ke rumah sakit dengan fasilitas hiperbarik oksigenasi, seperti di RSAL Mintohardjo. Metode pengobatan disebut selam kering. Dalam ruang hiperbarik, pasien diberi terapi tekanan tertentu selama waktu tertentu. Tujuannya melarutkan gelembung udara, kemudian tubuh diberi kesempatan melepaskan perlahan-lahan.
Susan mengatakan, korban dapat sembuh jika diterapi dalam jangka waktu kurang dari enam jam setelah kejadian. Jika lebih dari itu, jaringan yang tersumbat dikhawatirkan telah mati sehingga ada gejala sisa.
Di lapangan, jika hal ini terjadi dan penyelam masih sadar, korban dapat dibawa kembali ke kedalaman sekitar 9 meter dan diberi oksigen murni. Jika tidak tersedia oksigen murni, cukup membawa penyelam ke kedalaman semula, kemudian naik ke permukaan sesuai prosedur sehingga nitrogen yang terlarut terlepas dari tubuh.
Harijanto Mahdi, dokter spesialis Kelautan dan spesialis Telinga Hidung Tenggorokan yang juga Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Kelautan (Perdokla), menyatakan, penyakit dekompresi jarang terjadi pada penyelam profesional dan Marinir. Hal itu karena mereka diberi pendidikan keselamatan.
Penelitian Susan di Kepulauan Seribu, tahun 1995, menunjukkan, sekitar 51,8 persen nelayan penyelam setempat menderita penyakit dekompresi.
Ia menambahkan, orang yang sebelum menyelam mengonsumsi alkohol, keletihan, dan kegemukan, tergolong berisiko terkena penyakit ini. Namun dengan melakukan penyelaman yang aman dan mengikuti tabel penyelaman (dari organisasi POSSI/CMAS, PADI, ADS, atau US Navy), seperti naik perlahan-lahan, memerhatikan batas-batas kedalaman, dan durasi penyelaman, risiko terjadinya penyakit itu sangat kecil. US Navy Diving Manual mensyaratkan seorang penyelam bergerak naik maksimum dengan kecepatan 60 kaki (sekitar 18 meter) per menit.
Bawah laut bukanlah alam bagi manusia. Banyak hal bisa terjadi ketika kita tidak dapat beradaptasi. Namun dengan prinsip kehati-hatian dan kewaspadaan didukung kemajuan teknologi dan penelitian serta memerhatikan aturan penyelaman, kita dapat mengeksplorasi bawah laut dengan aman tanpa perlu takut dihinggapi hantu laut.
Penulis : Ichwan Susanto
Sumber : http://health.kompas.com/, Selasa, 31 Mei 2011 | 06:53 WIB
Komentar
Posting Komentar