Fakta Kontroversi Soal Surat Albert Einstein Tentang Agama dan Tuhan...


Belakangan ramai diberitakan bahwa surat Einstein tentang Tuhan akan dilelang dengan harga Rp 22,7 miliar. Sebuah surat tentang agama dan Tuhan milik Albert Einstein yang baru saja dilelang memicu beragam komentar. Lagi-lagi perkaranya adalah perdebatan tentang sains dan Tuhan.

Seperti biasa, pemberitaan memicu perdebatan tentang sains dan Tuhan, terlihat dari komentar di media sosial. Surat yang dimaksud tersebut ditulis Einstein kepada filsuf Yahudi Eric Gutkind yang dalam perjalanan intelektualnya lantas "mengawini" spiritualisme Yahudi. Dia mengatakan, pencarian ilmu pengetahuan akan dan bisa membawa manusia mengenali Tuhan-nya. Ditulis pada tahun 1954, setahun sebelum Einstein meninggal, apa sebenarnya isi surat itu?

Berikut ini terjemahan surat dalam bahasa Indonesianya. Teks dalam bahasa Indonesia ini hasil terjemahan dari bahasa Inggris (semula Einstein menulis dalam bahasa Jerman) dan sudah diperhalus sehingga lebih mudah dipahami.

Inilah isinya:
Kata Tuhan bagi saya tidak lebih dari ekspresi dan produk kelemahan manusia. Kitab suci adalah kumpulan legenda yang betapa pun mulia tetap masih primitif dan kekanak-kanakan. Tak ada interpretasi, bagaimana pun halusnya, yang bisa mengubah itu. Interpretasi itu beragam menurut sifatnya dan hampir tidak ada hubungannya dengan teks aslinya. 

Bagi saya, agama Yahudi seperti semua agama lain, adalah buah dari takhayul yang paling kekanak-kanakan. Orang-orang Yahudi, di mana saya menjadi bagiannya dan mempunyai kedekatan mentalitas, tidak memiliki kualitas yang berbeda dari orang lain. Sejauh pengalaman saya, mereka juga tidak lebih baik dari kelompok manusia lainnya, meskipun mereka terlindung dari kanker terburuk oleh kurangnya kekuatan. Saya tidak bisa melihat alasan mereka menjadi kaum 'terpilih' selain itu. 

Secara umum saya merasa sakit hati bahwa Anda mengklaim punya posisi istimewa dan mencoba mempertahankannya dengan dua dinding kesombongan, secara eksternal sebagai seorang manusia dan secara internal sebagai seorang Yahudi. Sebagai manusia Anda mengklaim punya dispensasi dari kausalitas sebab Yahudi punya hak istimewa dalam monoteisme. Tetapi, kausalitas yang terbatas tidak lagi merupakan kausalitas, sebab Spinoza kita yang luar biasa mengenali semua torehan, mungkin sebagai yang pertama. Dan interpretasi animistis terhadap agama-agama alam secara prinsip tidak dibatalkan oleh monopoli. Dengan tembok seperti itu kita hanya bisa menipu diri sendiri, tidak memajukan upaya moral kita. Justru sebaliknya. 

Meskipun saya sekarang telah secara terbuka menyatakan perbedaan keyakinan intelektual, masih jelas bagi saya bahwa kita cukup dekat satu sama lain dalam hal-hal yang esensial, yaitu dalam evaluasi kita tentang perilaku manusia. Apa yang membedakan kita hanyalah 'props' intelektual dan 'rasionalisasi' dalam bahasa Freud. Dengan demikian, saya berpikir bahwa kita bisa saling memahami dengan baik saat kita berbicara tentang hal-hal konkret. 


Apakah Einstein Berdoa dan Percaya Tuhan?


Einstein lahir dan dibesarkan dalam lingkungan beragama Yahudi. Beberapa orang yakin ia masih memegang teguh agama tersebut.

Pada Januari 1936, seorang gadis yang masih duduk di sekolah dasar menulis surat untuk Einstein. Phyllis, nama gadis itu, bertanya pada Einstein apakah ilmuwan bisa percaya pada sains dan agama sekaligus. Surat yang ditulis Phyllis saat kelas sekolah minggu itu, juga mempertanyakan apa yang ilmuwan doakan.

Beberapa hari kemudian Einstein pun membalas surat dari gadis kelas enam tersebut. Dalam surat balasannya, Einstein mengatakan ilmuwan percaya bahwa setiap kejadian terjadi karena hukum alam. Oleh karena itu,  ilmuwan tidak bisa percaya jika peristiwa terjadi karena dipengaruhi doa atau terwujud secara supranatural.

Meski begitu, ia juga mengakui bahwa pengetahuan ilmuwan tentang kekuatan dunia ini tidak sempurna. Dengan demikian, orang masih harus bergantung dengan yang namanya "iman".

Einstein juga menyebutkan orang yang serius mengejar ilmu pengetahuan juga percaya bahwa beberapa "roh" terwujud dalam hukum alam yang jauh lebih unggul dari manusia.

Dengan begitu, pengejaran ilmu pengetahuan mengarah pada perasaan religius atau spiritualitas yang istimewa. Ia juga menambahkan perasaan religius ini berbeda dengan religiusitas kebanyakan orang.

Secara eksplisit, dalam surat tersebut Einstein memberikan isyarat bahwa ia penganut panteisme, yang gagasan utamanya "Tuhan adalah segalanya".

Hal tersebut senada juga sempat ia ekspresikan pada seorang rabbi bernama Herbert S. Goldstein. "Aku percaya pada Tuhannya Spinoza, yang mengungkapkan dirinya dalam harmoni alam semesta, bukan Tuhan yang memperhatikan dirinya sendiri dengan takdir dan perbuatan manusia," katanya seperti yang dikutip dalam Big Think, Jumat (29/9/2017).

Ia juga mengungkapkan bahwa ia terpesona pada panteisme Spinoza. Panteisme dapat didefinisikan sebagai keyakinan bahwa semuanya identik dengan Tuhan. Beberapa orang dengan pandangan ini percaya Tuhan adalah alam semesta, kosmos, atau segala hal menjadi satu dengan Tuhan.

Namun ada juga yang berpendapat bahwa esensi Ilahi ada dalam segala hal tanpa menjadi bagian dari Tuhan. Panteisme Spinoza yang diyakini Einstein sendiri berpendapat bahwa alam semesta ini identik dengan Tuhan.

Meski menganut panteisme, Einstein tetap mempertahankan tradisi Yahudi tertentu, walaupun dalam tradisi Yahudi, ia sering dipandang ateis. Einstein juga lebih senang disebut agnostik dan tidak suka disebut ateis. Ia menganggap orang-orang yang menyamakan sifat Tuhan dengan perilaku manusia adalah tindakan naif.

Dengan kata lain, Einstein adalah seorang humanis sekuler. Pandangannya tentang Tuhan, kehidupan, dan alam semesta lebih rumit dari kebanyakan orang.

Tanggapan Thomas Djamaluddin, Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.


Terkait surat yang ditujukan untuk filsuf Yahudi Eric Gutkind itu, Kompas.com meminta pendapat dari Thomas Djamaluddin, ilmuwan, agamawan, dan Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Menurut Thomas, agama dan sains ada bedanya walaupun bisa diintegrasikan. 

"Dasar agama adalah keyakinan akan kebenaran mutlak Tuhan. Sementara dasar dari sains adalah keraguan yang perlu dibuktikan dengan pengamatan, eksperimen, atau teori," kata Thomas melalui sambungan telepon, Senin (08/10/2018). 

"Hubungan antara agama dan sains pada ranah interpretasi manusia yang dipengaruhi oleh beragam pengalaman, wawasan, dan keterbukaan pribadinya," imbuhnya. 

Thomas menyebut, baik agama maupun sains harus diinterpretasikan lebih dahulu agar bisa diintegrasikan. Nantinya, integrasi tersebut bisa menjadi tiga hasil. 
"Hasilnya, pertama bisa saling berhubungan sehingga dianggap saling memperkuat. Kedua saling bertentangan sehingga tidak selayaknya bersanding. Atau ketiga dalam kondisi netral, dianggap tidak saling mempengaruhi," tutur Thomas. 

"Saya pribadi tergolong kelompok pertama. Einstein termasuk adalah kelompok kedua. Sebagian besar tergolong kelompok 3," tutupnya. 

Penyusun : Yohanes Gitoyo, S Pd.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Alasan Mengapa "Wanita Cantik" Nikahi "Pria yang Kurang Menarik" ?

Inilah Kisah Lengkap Legenda Bharatayudha / Mahabharata.

Mengenal Rsi Byasa (IAS Vyāsa) Filsuf Kuno Terbesar di India, Penulis Kisah Mahabarata.

Mengenal Ludruk, Kesenian Khas Jawa Timur Yang Melegenda.

Orang Tua Wajib Tahu Perkembangan Anak.

Kurukshetra : Inilah Lokasi Tempat Terjadinya Pertempuran Besar "Mahabharata" atau "Barata Yudha", Apa Kabarnya Sekarang ?

20 Karakter Game Wanita Yang Cantik Dan Seksi Karya Computer-Generated Imagery (CGI).

Segala Hal Tentang Punokawan Wayang.

Menguak Rahasia Isi Ruangan Dalam Ka'bah, Bangunan Tersuci Umat Islam

Makin Banyak Bayi Berkepala Peyang !!??