Ini sosok Santoso, teroris paling dicari Indonesia dan AS !
Santoso, alias Abu Warda kini tak hanya menjadi buronan bagi aparat keamanan Indonesia. Pemimpin kelompok teror di Poso, Sulawesi Tengah ini juga telah masuk ke dalam daftar teroris yang paling dicari Amerika Serikat (AS).
Masuknya Santoso dalam daftar hitam tersebut membuat sosoknya menjadi perhatian nasional. Ada yang meyakini dia ada dan memang menebar teror di Poso, tapi tak jarang juga yang menganggap keberadaannya hanya rekaan, setelah polisi tak pernah berhasil menangkapnya meski terus menggelar operasi besar untuk memburunya.
Siapa sebenarnya Santoso ini hingga membuat repot aparat keamanan Indonesia?
Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), Ansyaad Mbai meluruskan isu itu. Dia tak mau sosok yang dianggap bertanggung jawab terhadap sejumlah aksi pembunuhan terhadap warga d Poso tersebut rekaan.
Dia yakin, Santoso memang benar ada dan dalam waktu dekat akan ditangkap. Apalagi posisi kelompok teroris jaringan Santoso berada di Poso saat ini terus terdesak. Gabungan Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dinamakan Satgas Tinombala ini terus menyisir kelompok Santoso.
"Memang banyak yang mengatakan dia sengaja dibiarkan, jadi proyek, biar operasi lama-lama di sana. Banyak orang membandingkan seperti DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh dulu," kata Ansyaad kepada merdeka.com, pekan lalu.
Ansyaad mengungkapkan, Santoso telah menjadi pria yang paling diburu sejak 2007. Dia dituding sebagai otak pembunuhan dan mutilasi terhadap tiga siswi SMK di Poso, disusul kasus pembunuhan terhadap sejumlah polisi yang dikuburkan dalam satu lubang. Kini, sudah hampir satu dekade dia bergerilya menghadapi polisi dan TNI.
"Pertama awalnya hanya Polisi, kemudian Densus, kalau anda tahu sebagian Polisi lain bahkan Polda sebagian juga banyak yang mengatakan bersama BNPT supaya dapat donatur dari internasional dan sebagainya. Itu banyak isu itu, itu tidak pernah kita tanggapi isu itu," tegasnya.
Santoso merupakan pimpinan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang dibaiat secara langsung oleh Abu Bakar Baasyir, laiknya Jemaah Anshorut Tauhid (JAT). Setelah itu, dia mulai memperkenalkan dirinya dengan membuat video dan menyebarkannya melalui jejaring sosial.
Perjalanan terornya bermula di tahun 2009, ketika Noordin M Top tertangkap pasca-peledakan bom Marriott dua. Kejadian itu membuat Jemaah Islamiah dan JAT lumpuh, hingga tersebar dalam kelompok-kelompok kecil seperti jamur.
Akhir 2009, tokoh-tokoh utama teroris itu yang dipenjara mulai dibebaskan, salah satunya Abu Bakar Baasyir, dan Mustofa dan yang lain-lain. Sedang di Filipina ada Dul Matin serta Umar Patek.
"Akhirnya mereka sepakat bagaimana mereunifikasi gerakan ini, artinya mengumpulkan dana segala macam dan di situ lah Abu Bakar Baasyir kena mendanai itu. Ada bukti hukumnya. Dia ada keterkaitan dengan pelatihan di Jantho Aceh, pelatihnya adalah Mustofa dan pendanaannya adalah Abu Bakar Baasyir dari berbagai sumber," ungkapnya.
Sayangnya, upaya polisi untuk menghentikan teror tersebut tak sepenuhnya berhasil, sebab ada beberapa orang yag berhasil lolos. Dari mereka, ada yang terlibat dalam kasus perampokan CIMB Medan, serta pembantaian di Polsek Hamparan Perak. Hingga tumbuhnya sel terorisme di Klaten, Jawa Tengah. Rangkaian perampokan dan pembunuhan tersebut disimpan dan digunakan sebagai dana pelatihan calon anggota baru, tempat yang dipilih adalah Poso.
Meski begitu, polisi meyakini Santoso bukan putra daerah melainkan pendatang di Poso. Sebelum terliat dalam organisasi teror, dia pernah tertangkap karena mencuri sepeda motor, namun dibebaskan setelah menjalani hukuman. Walaupun sudah membaiat diri dengan menyatakan bergabung dengan kelompok Negara Islam Iraq dan Suriah (ISIS), namun pengaruhnya masih jauh di bawah Abu Jandal serta Bahrun Naim, otak pemboman di Jalan MH Thamrin, Jakarta.
Terkait tudingan Santoso hanya rekaan polisi, Ansyaad memandang adanya trauma di masa lalu yang membuat orang menjadi apatis terhadap tindakan polisi. Apalagi, propaganda itu semakin kencang setelah disebarluaskan oleh kelompok-kelompo radikal di Indonesia.
"Iya ada propaganda dari kelompok radikal. Ini bukan hanya saja di kalangan bawah tetapi juga sudah sampai tahap politisi ada, di intelektual ada. Pemahamannya sudah sampai tahap itu, skeptisisme masa lalu," tutupnya.
Berikut rentetan peristiwa berdarah yang melibatkan teroris Santoso Cs di Poso.
- Tahun 2011
- Tahun 2012
3. Penembakan Hasman Sao di Desa Masani, 7 Nopember 2012
4. Pembunuhan 2 anggota Polri Andi Sapa dan Sudirman, 16 Nop 2012
5. Peledakan Bom (Kawua) di rumah Okrifel Mamuaja, 9 Nopember 2012
6. Bom Pos Lantas Smaker, 22 Nopember 2012
7. Penembakan Noldy Ombolado, 27 Agustus 2012
8. Kontak Penangkapan Kholid Tobingo, 3 Nopember 2012
9. Penyerangan Polsek Poso Pesisir Utara, 15 Nopember 2012
10. Penyerangan Patroli Brimob di Kalora, 20 Desember 2012
11. Bom Pos Natal Pasar Sentral Poso, 25 Desember 2012
- Tahun 2013
13. Temuan bom Pipa di Jalan Pulau Irian, 2 Maret 2013
14. Temuan Bahan Bom Urea Nitrat sebanyak 7 Jeriken @30 Liter
15. Bom di Mapolres Palu, 14 Mei 2013
16. Bom di Mapolsek Paltim, 18 Mei 2013
- Tahun 2014
18. Bom di depan Pos Polmas Pantango Lembah, 24 Februari 2014
19. Bom Pantango lembah (Bom Tangki seprot Hama), 25 Februari 2015
20. Bom di Dewua, 9 Oktober 2014,
21. Penyerangan Mobil Taktis Brimob di Jl Tangkura, 7 Nopember 2014
22. Penembakan Amir alias Cama, 2 Juni 2014
23. Penculikan 2 warga di Sedoa, 15 Desember 2014
24. Penculikan 3 warga Tamadue
25. Pembunuhan Fadly (alm) di Taunca, 18 September 2014
- Tahun 2015
27. Pembunuhan 3 warga Sausu, 16-17 September 2015
28. Penembakan Iptu Bryan, 17 Agustus 2015
29. Penembakan Serma Zainudin, 29 Nopember 2015
- Tahun 2016
Sulitnya Perburuan Santoso cs.
Bagaimana sesungguhnya kondisi di sana?
"Di Gunung Biru, kami susah bergerak. Di sana, selain hutan-hutan juga banyak tebing. Salah masuk sedikit, habislah kita," kata pria berdarah Papua itu.
Tim pemburu mesti bergerak sembunyi-sembunyi untuk menjangkau markas para teroris. Padahal sulit bagi mereka untuk mencari jalan di kegelapan. Salah langkah bisa mengakibatkan kekalahan sebelum berperang, entah itu sebatas cedera ringan atau kecelakaan serius seperti jatuh ke jurang.
Perlu kehati-hatian dan pengetahuan lengkap mengenai kondisi di lapangan. "Belum lagi, mereka (teroris) lebih tahu keadaan di sana. Itu kan markas mereka. Mereka sudah kenal seluk-beluknya seperti apa," kata Didimus.
Di samping itu, karena Densus mesti bergerak dengan cepat, persediaan makanan terpaksa dibatasi. Di hutan, kemampuan bertahan hidup dengan memanfaatkan apa saja yang ada menjadi penting.
"Mau tembak binatang, takut bunyi senjatanya memancing teroris. Jadi kami buat ranjau pakai tali untuk berburu," kata Didimus.
Maka jika terpaksa, tikus sekali pun jadi santapan. "Karena lapar jadi enak saja, dibakar tikusnya," ujar Didimus.
Sebelum bergerak ke pegunungan, petugas mesti lebih dulu mengumpulkan informasi tentang keberadaan markas para teroris. Jika itu tak dilakukan, setiap langkah di hutan bisa jadi membawa mereka lebih dekat kepada ajal.
"Saya nyamar jadi mahasiswa, bawa tas isi buku-buku. Penampilan sih sudah persis mahasiswa, tapi tetap saja sulit membongkar informasi di sana," kata Didimus.
Ternyata, kelompok teroris kerap datang ke perkampungan untuk meminta bahan pokok. Mereka sekaligus menebar ancaman kepada warga desa agar tutup mulut soal keberadaan mereka.
"Waktu saya di sana, ada tiga petani dibunuh. Dibilang salah ngomong," ujar Didimus.
Nama Santoso menjadi momok bagi masyarakat kaki Gunung Biru. Meski Didimus sudah mengaku sebagai mahasiswa yang sedang melakukan penelitian tentang kehidupan setempat, ia tidak mendapatkan banyak informasi.
Pada saat yang sama, Didimus mesti menjaga penyamaran dan tidak bisa secara gamblang bertanya soal teroris. Informasi hanya bisa dia dapatkan dengan mencuri dengar ketika masyarakat berbincang soal sosok yang mengancam mereka.
Selain itu, watak masyarakat di perkampungan memang agak keras. Meski ramah dan bisa menerima secara kekeluargaan orang lain, rahasia mereka sangat sulit dibuka.
Posisi Santoso saat ini disebut-sebut terkepung dan berada di pegunungan Napu. Ditambah keterbatasan logistik, kelompok tersebut membuat Santoso Cs makin terjepit. Belum lagi persoalan di dalam kelompok itu sendiri, yaitu perbedaan pendapat antara anggota kelompok dengan Santoso selaku pemimpin wilayah.
"Saya pikir kelompok ini kelompok kecil, hanya kurang lebih 20-23 orang saja. Masalahnya adalah hutan dan gunung-gunung," ujar Kepala BNPT Irjen Tito Karnavian, Senin 21 Maret 2016.
"Hanya masalah waktu saja. Untuk operasi saya yakin teman di sana (Polri dan TNI) sudah cukup mampu dan mereka sudah mempunyai peta yang cukup," dia menambahkan.
Penyusun : Yohanes Gitoyo, S Pd.
Sumber :
Komentar
Posting Komentar