Mengungkap Misteri Letusan Gunung Api Terbesar Di Dunia : "Asal Usul Danau Toba"
Toba Supereruption adalah letusan Gunung superraksasa (supervolcanic) Gunung Toba yang terjadi sekitar 75.000 tahun yang lalu, saat ini letusan besar ini meninggalkan sebuah danau kaldera raksasa yang unik di kenal dengan nama Danau Toba yang terletak di pulau Sumatera , Indonesia. Letusan ini adalah salah satu peristiwa letusan gunung api terbesar yang diketahui manusia. Teori bencana Toba menyatakan bahwa kejadian ini menyebabkan musim dingin global vulkanik 6-10 tahun (musim dingin terus menerus diseluruh dunia) dan mungkin episode dengan masa pendinginan hingga 1.000 tahun.
Letusan gunung api Toba, merupakan letusan terbesar di dunia yang pernah terjadi.
Letusan Gunung Toba yang dsyat in menyebabkan sebuah danau raksasa yang saat ini dikenal dengan Danau Toba, di Pulau Sumatera, Indonesia, peristiwa ini terjadi sekitar 75 000 ± 900 tahun Before Present (BP) menurut penanggalan potassium argon.
Letusan Gunung Toba terakhir dan terbesar terjadi pada letusan ke empat letusan Toba selama Periode Kuarter, dan hal ini diketahui dari diagnostik sisa-sisa hujan abu yang termuda Toba tuff (YTT).
Letusan Gunung Toba diperkirakan lebih dari M8 skala Volcanic Explosivity Index (skala maksimum dari letusan gunung berapi.). Letusan gunung sedasyat ini diperkirakan lebih dari cukup untuk dapat membentuk sebuah kawah kaldera raksasa seluas 100 × 30 km.
Estimasi volume letusan (Dense-rock equivalent (DRE)) untuk letusan Gunung Toba bervariasi antara 2000 km kubik dan 3000 km kubik - estimasi DRE yang paling umum adalah 2800 km kubik (sekitar 7 × 10 15 kg) dari magma yang meletus, 800 km kubik diantaranya diendapkan sebagai hujan abu.
Massa letusan Gunung Toba 100 kali lebih besar dari letusan gunung berapi terbesar dalam sejarah, pada tahun 1815 yaitu letusan Gunung Tambora di Indonesia, yang menyebabkan 1816 sebagai "tahun tanpa musim panas" di belahan bumi utara. Massa letusan yang diendapkan lapisan abu setebal 15 cm (6 inci) di seluruh Asia Selatan . Selimut abu vulkanik ini tersimpan di atas Samudera Hindia, dan Laut Arab dan Laut Cina Selatan.
Letusan Toba ternyata bertepatan dengan terjadinya zaman es terakhir. Michael L. Rampino and Stephen Self berpendapat bahwa letusan menyebabkan "singkat, pendinginan dramatis atau 'musim dingin vulkanik', yang mengakibatkan penurunan dari rata-rata suhu permukaan global dengan 3-5 ° C dan mempercepat transisi dari hangat ke dingin suhu dari siklus glasial terakhir.
Bukti dari Greenland inti es menunjukkan periode 1000-tahun penerbangan δ 18 O dan peningkatan deposisi debu segera setelah letusan Gunung Toba. Letusan ini mungkin telah menyebabkan periode 1000-tahun suhu dingin (stadial), dua abad yang bisa dipertanggungjawabkan oleh kedasyatan letusan Gunung Toba yang terbawa hingga lapisan stratosfer Bumi. Rampino dan Self percaya bahwa pendinginan global sudah berlangsung pada saat letusan, tetapi bahwa proses ini lambat; YTT "mungkin telah memberikan 'tendangan' ekstra yang menyebabkan sistem iklim untuk beralih dari hangat ke negara dingin".
Menurut Alan Robock, yang juga telah menerbitkan musim dingin nuklir, letusan Toba tidak mengendap periode glasial terakhir. Namun dengan asumsi emisi enam miliar ton sulfur dioksida , simulasi komputer menyimpulkan bahwa pendinginan global maksimum sekitar 15 ° C terjadi selama tiga tahun setelah letusan, dan bahwa pendinginan ini akan berlangsung selama beberapa dekade, menghancurkan kehidupan.
Pada tahun 1993, wartawan ilmu Ann Gibbons menyatakan adanya hubungan antara letusan dan hambatan populasi dalam evolusi manusia, dan Michael R. Rampino dari New York University dan Stephen Diri dari University of Hawaii di Manoa memberi dukungan kepada gagasan. Pada tahun 1998, teori bottleneck dikembangkan lebih lanjut oleh Stanley H. Ambrose dari University of Illinois di Urbana-Champaign . Kedua link dan teori musim dingin global sangat kontroversial.
Letusan Gunung Toba terakhir dan terbesar terjadi pada letusan ke empat letusan Toba selama Periode Kuarter, dan hal ini diketahui dari diagnostik sisa-sisa hujan abu yang termuda Toba tuff (YTT).
Massa letusan Gunung Toba 100 kali lebih besar dari letusan gunung berapi terbesar dalam sejarah, pada tahun 1815 yaitu letusan Gunung Tambora di Indonesia, yang menyebabkan 1816 sebagai "tahun tanpa musim panas" di belahan bumi utara. Massa letusan yang diendapkan lapisan abu setebal 15 cm (6 inci) di seluruh Asia Selatan . Selimut abu vulkanik ini tersimpan di atas Samudera Hindia, dan Laut Arab dan Laut Cina Selatan.
Menurut Alan Robock, yang juga telah menerbitkan musim dingin nuklir, letusan Toba tidak mengendap periode glasial terakhir. Namun dengan asumsi emisi enam miliar ton sulfur dioksida , simulasi komputer menyimpulkan bahwa pendinginan global maksimum sekitar 15 ° C terjadi selama tiga tahun setelah letusan, dan bahwa pendinginan ini akan berlangsung selama beberapa dekade, menghancurkan kehidupan.
Pada tahun 1993, wartawan ilmu Ann Gibbons menyatakan adanya hubungan antara letusan dan hambatan populasi dalam evolusi manusia, dan Michael R. Rampino dari New York University dan Stephen Diri dari University of Hawaii di Manoa memberi dukungan kepada gagasan. Pada tahun 1998, teori bottleneck dikembangkan lebih lanjut oleh Stanley H. Ambrose dari University of Illinois di Urbana-Champaign . Kedua link dan teori musim dingin global sangat kontroversial.
Video : "Biggest Volcanic Eruption Ever in the World - Supervolcano (Special Documentary)"
Pemicu Letusan Toba 74.000 Tahun Lalu.
Peneliti mengungkap pemicu letusan gunung api super Toba, letusan terbesar sepanjang sejarah peradaban manusia. Pengetahuan itu bisa menjadi dasar untuk memprediksi letusan gunung api super pada masa yang akan datang.
Selama ini peneliti bertanya-tanya, bagaimana letusan Toba pada 74.000 tahun lalu bisa begitu besar. Dalam letusan itu, 2.800 kilometer kubik abu vulkanik dilepaskan ke atmosfer, memicu tahun tanpa musim panas di Eropa, serta membuat manusia di ambang kepunahan.
David Budd dari Departemen Ilmu Kebumian di Universitas Uppsala dan timnya menganalisis kristal kuarsa vulkanik yang dihasilkan dari letusan Toba. Kristal tersebut menunjukkan perubahan kimia dan termodinamika dalam magma.
"Mirip lingkaran tahunan pohon yang merekam variasi iklim," kata Budd seperti dikutip Daily Mail, Kamis (26/1/2017). "Saat kondisi magma berubah, kristal merespons dan membentuk zona berbeda yang merekam perubahan ini."
Penelitian ini penuh tantangan. Lingkaran perubahan kimia magma yang terdapat pada kristal kuarsa vulkanik hanya membentang beberapa mikrometer. Butuh kecermatan dalam menganalisis sehingga dinamika magma bisa terungkap.
Budd dan tim mengungkap, lingkaran kristal mengandung proporsi isotop 180 yang lebih rendah dibandingkan dengan isotop 160 yang lebih ringan. "Rendahnya perbandingan isotop 180 terhadap 160 menandakan bahwa sesuatu dalam sistem magma berubah drastis sebelum terjadinya erupsi besar," ujarnya.
Mengapa bisa begitu?
Penjelasannya adalah adanya magma yang meleleh dan berasimilasi dengan bebatuan di sekitarnya dalam jumlah besar. Jenis batuan ini juga sering mengandung banyak air, yang mungkin dilepaskan ke dalam magma, memproduksi uap dan meningkatkan tekanan gas di dalam ruang magma.
"Tekanan gas membuat magma dengan cepat memecah kerak yang berada di atasnya, mengirimkan ribuan kilometer kubik magma ke atmosfer," ungkap Frances Deegan, peneliti lain yang terlibat. Itulah yang menyebabkan letusan Toba begitu besar.
Letusan sebesar Toba jarang terjadi. Namun, manusia tetap harus bersiap-siap. "Mudah-mudahan masih ribuan tahun lagi, tetapi faktanya ini hanya soal waktu sebelum letusan dahsyat berikutnya, bisa di Toba, Yellowstone (Amerika Serikat), atau tempat lain. Kita berharap, kita akan lebih siap dengan itu," ujar Deegan.
Sebelumnya, Ivan Koulakov dari Siberian Branch of the Russian Academy of Sciences melakukan penyelaman di Danau Toba yang dulunya merupakan lokasi Gunung Toba. Koulakov dan timnya ingin mencari tahu alasan besarnya volume magma yang dihasilkan Toba dan lamanya jarak antar-letusan.
Koulakov mengembangkan model berdasarkan data seismik. Mereka menemukan bahwa gunung berapi memiliki tempat penyimpanan magma yang besar. Tempat penyimpanan ini menjaga magma jauh di bawah kerak sampai ada cukup tekanan sehingga letusan terjadi.
Model simulasi yang baru ini juga mengungkapkan sistem yang kompleks, tempat terowongan magma multi-level sepanjang 150 km. Pada kedalaman tersebut, gas dan batuan meleleh. Lelehan tersebut kemudian terus bertambah hingga mencapai kedalaman 75 km, menciptakan tempat penyimpanan magma utama.
Penyusun : Yohanes Gitoyo, S Pd.
Sumber :
- https://en.wikipedia.org/wiki/Toba_catastrophe_theory
- http://sains.kompas.com/read/2017/02/06/16225391/pemicu.letusan.toba.74.000.tahun.lalu.terungkap
Komentar
Posting Komentar