Apakah Google Bikin Manusia Jadi Makin Bodoh? Begini Kata Ahlinya...
Ketika ingin mengetahui suatu hal, sekarang banyak orang tidak perlu lagi membuka buku atau bertanya pada orang di sekitarnya. Mereka cukup mencari tahu menggunakan mesin pencari google. Hal ini bahkan membuat banyak orang Indonesia menyebut mesin pencari tersebut dengan istilah "mbah google". Meski mempermudah banyak orang mendapatkan informasi, ada ketakutan bahwa laman pencari ini bisa membuat manusia lebih bodoh.
Tapi, benarkah demikian?
Dilansir dari laman Deutsche Welle Indonesia, Sabtu (15/09/2018), ahli saraf dari Cardiff Dean Burnett mengatakan pendapat tersebut tidak tepat. "Tidak, saya tidak bisa melihat bagaimana ini bisa terjadi. Argumen utama yang saya lihat mendukung pendapat ini adalah kita biasanya mampu mengingat esai panjang atau puisi dan melafalkannya dengan mudah, karena inilah yang diajarkan di sekolah," ungkap Burnett.
Dilansir dari laman Deutsche Welle Indonesia, Sabtu (15/09/2018), ahli saraf dari Cardiff Dean Burnett mengatakan pendapat tersebut tidak tepat. "Tidak, saya tidak bisa melihat bagaimana ini bisa terjadi. Argumen utama yang saya lihat mendukung pendapat ini adalah kita biasanya mampu mengingat esai panjang atau puisi dan melafalkannya dengan mudah, karena inilah yang diajarkan di sekolah," ungkap Burnett.
"Tetapi kemampuan untuk mengingat teks yang panjang bukanlah tanda kecerdasan, dan jika tidak mampu melakukannya tidak berarti Anda 'bodoh'," imbuhnya. Burnett juga menjelaskan, intelegensi memiliki banyak faktor budaya dan genetik serta pada bagaimana Anda menggunakan informasi. Artinya, bukan seberapa baik Anda mengingat informasi tersebut.
" Google memberi kita lebih banyak informasi dari sebelumnya. Jadi ada argumen bahwa justru membuat kita lebih pintar, memberi kita lebih banyak informasi dan membuat otak kita bekerja untuk memprosesnya," ujar Burnett.
Selain dikhawatirkan membuat manusia lebih bodoh, google juga banyak diperkirakan bisa mempengaruhi perhatian manusia. Salah satu alasannya adalah manusia lebih banyak menghabiskan waktunya di depan layar.
Namun Burnett mengatakan, google belum eksis cukup lama untuk 'mengembangkan' respons neurologis terhadapnya. Ini berarti sistem perhatian manusia masih pada tingkat neurofisiologis yang sama. "Tetapi tampaknya benar bahwa kini banyak orang tidak menghabiskan waktu lama dengan berfokus pada sesuatu seperti dulu," tegas Burnett.
Namun Burnett mengatakan, google belum eksis cukup lama untuk 'mengembangkan' respons neurologis terhadapnya. Ini berarti sistem perhatian manusia masih pada tingkat neurofisiologis yang sama. "Tetapi tampaknya benar bahwa kini banyak orang tidak menghabiskan waktu lama dengan berfokus pada sesuatu seperti dulu," tegas Burnett.
Dia menjelaskan, otak manusia biasanya mengutamakan kebaruan daripada tingkat kedekatan ketika berhubungan dengan stimulasi dan kegiatan yang menyenangkan.
"Google memungkinkan Anda untuk mengakses hal-hal baru yang hampir tak terbatas dengan satu sentuhan tombol, sehingga orang jauh lebih tergoda daripada sebelumnya untuk mencari sesuatu yang lebih baik daripada berkonsentrasi pada apa yang di depan mereka," ujarnya.
"Secara teknis Anda dapat menerapkan ini ke banyak situs internet lainnya, seperti Facebook dan Twitter, bukan hanya Google," sambung Burnett.
Cara Otak Mengatasinya
Seperti yang kita tahu, masalah manusia saat ini bukan lagi mencari informasi tetapi menyaringnya. Menurut Burnett, sebenarnya otak manusia memiliki mekanisme yang bagus dalam menyaring informasi. "Indra kita sendiri memberikan lebih banyak informasi ke otak daripada yang pernah kita harapkan untuk diproses setiap menit demi menit, dan otak telah mengembangkan banyak mekanisme untuk menyaring, memprioritaskan dan menangani semua ini," kata Burnett. "Hal yang sama dapat dikatakan tentang informasi Google," tegasnya.
Tetapi, menurut dosen dari Cardiff tersebut, proses penyaringannya sedikit sedikit berbeda karena lebih abstrak dan bersifat kognitif. Selain itu, metode otak untuk mengatasi surplus informasi tidak selalu ideal. "Konfirmasi misalnya, proses di mana kita memprioritaskan informasi yang mendukung apa yang sudah kita pikirkan/percayai dan abaikan apa pun yang tidak," tutur Burnett.
"Proses ini meresap dan bertahan dan jelas mendukung sebagian besar kesulitan dan polarisasi yang kita lihat secara online, khususnya di bidang politik," tambahnya.
Bergantung pada Google.
Di samping permasalah penyaringan informasi, adanya mesin pencari seperti google membuat manusia lebih bergantung pada cara ini. "Manusia mungkin akan cenderung akan langsung bertanya pada Google daripada mencoba menemuka jawabannya sendiri," ujar Burnett.
Bergantung pada Google.
"Tapi jelas itu akan bervariasi dari orang ke orang. Namun, pemrosesan informasi seperti ini hanya sebagian kecil dari apa yang dilakukan otak kita, jadi sulit untuk melihat bagaimana Google dapat lebih diutamakan daripada otak dalam waktu dekat," tegasnya. Dengan kecenderungan ketergantungan ini membuktikan bahwa google telah merevolusi cara hidup manusia modern kini. Google membuat banyak orang memiliki kemampuan lebih dalam melakukan sesuatu.
Editor : Resa Eka Ayu Sartika
Sumber : Deutsche Welle, dikutip dari : sains.kompas.com, 16 September 2018, 12:37 WIB .
Komentar
Posting Komentar