Sama-sama Berbasis Bulan, Mengapa Tahun Baru Kalender Tionghoa dan Islam Beda?
Sistem penanggalan Tionghoa dan Islam sama-sama menggunakan bulan sebagai dasar perhitungannya. Namun, tahun baru kedua sistem penanggalan itu ternyata jatuh pada waktu yang jauh berbeda.
Jika Tahun Baru Imlek tahun 2016 jatuh pada Senin (8/2/2016) ini, Tahun Baru Islam atau Hijriah baru akan jatuh pada 2 Oktober 2016 mendatang.
Beberapa mungkin sekadar menjawab bahwa itu terjadi karena perbedaan titik tolak antara dua sistem penanggalan tersebut. Titik tolak penanggalan Tionghoa adalah milenium 3 sebelum Masehi (SM), masa Kaisar Huang Di, antara tahun 2698 SM dan 2599 SM.
Sementara itu, titik tolak penanggalan Islam adalah hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah pada tahun 622 Masehi.
Namun, sebenarnya, penyebab perbedaan waktu jatuhnya tahun baru Tionghoa dan Islam lebih dari itu. Coba cermati. Tahun baru Imlek selalu jatuh pada waktu yang hampir bersamaan tiap tahunnya, antara Januari dan Februari.
Sementara itu, tahun baru Islam sangat tidak menentu. Kadang saat musim kemarau, kadang musim hujan. Lalu ambil contoh kejadian tahun ini. Tanggal 8 Februari 2016 sudah dihitung sebagai awal bulan baru dalam tahun baru kalender Tionghoa.
Sementara itu, dalam kalender Islam, hari ini baru tanggal 28 Rabbiul Akhir, belum bulan baru.
Mengapa bisa demikian?
Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin, dan dosen astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB), Hakim L Malasan, mengatakan, walaupun sama-sama memakai bulan sebagai patokan, ada perbedaan dalam perhitungan kalender Tionghoa dan Islam.
Penanggalan Islam
Bisa dikatakan, penanggalan Islam benar-benar murni berbasis waktu revolusi bulan mengelilingi bumi, 27,3 hari. Bulan baru dalam sistem kalender Islam dihitung dari saat penampakan hilal, bulan sabit yang sangat tipis.
Penentuan bulan baru itulah yang kadang menjadi kontroversi saat awal bulan Ramadhan, hari raya Idul Fitri, dan Idul Adha. Ada yang menganggap penentuan bulan baru harus disertai pengamatan hilal terlebih dahulu, tetapi ada juga yang menganggap bulan baru cukup ditentukan dengan perhitungan waktu penampakan hilal secara matematis.
Walau penentuan bulan baru bersifat rumit, sistem penanggalan Islam secara umum bisa dikatakan lebih sederhana. Satu tahun adalah 354 hari. Setiap tahun terdiri atas 12 bulan yang lamanya antara 29 dan 30 hari. Karena lama satu bulan tak benar-benar tepat dengan waktu Bulan mengelilingi Bumi, kalender Islam mengenal tahun kabisat. Ada penambahan satu hari, menjadi 355 hari.
Awal tahun dimulai dari bulan Muharam. Nama-nama bulan diadopsi dari penanggalan yang ada di tanah Arab sejak masa Quraisy atau sebelum Islam. "Bedanya, Islam melarang memasukkan nasi' (musim)," kata Thomas.
Penanggalan Tionghoa
Kalau sistem penanggalan Islam benar-benar berbasis bulan, sistem penanggalan Tionghoa memasukkan unsur matahari. Penetapan awal bulannya lebih sederhana. Patokannya bukan hilal, melainkan waktu konjungsi antara bulan dan matahari atau saat bulan dan matahari "bertemu" dan terletak segaris dari sudut pandang manusia.
Dalam Islam, masa saat konjungsi bulan dan matahari disebut ijtimak. Karena mendasarkan pada waktu konjungsi, penentuan awal bulan baru dalam kalender Tionghoa tak perlu pengamatan, tetapi cukup dihitung secara matematis.
"Astronom-astronom China sejak dahulu sudah ahli dalam membuat perhitungan itu," kata Thomas. Sementara penentuan tahun barunya sederhana, perhitungan tahun dalam penanggalan China sedikit rumit. "Unsur musim dimasukkan dalam penanggalan," kata Hakim. Jika memakai unsur bulan saja, tahun baru dalam kalender Tionghoa akan sama nasibnya dengan tahun baru Islam. Bisa-bisa ada tahun baru yang jatuh pada musim dingin.
Masuknya perhitungan musim inilah letak perpaduan unsur matahari dan bulan dalam kalender Tionghoa. Seperti diketahui, gerak semu tahunan matahari merupakan penentu musim di bumi.
Saat matahari berada di 23,5 derajat Lintang Selatan misalnya, belahan selatan akan mengalami musim panas, dan belahan utara akan mengalami musim dingin. Dengan memasukkan unsur musim, satu bulan dalam kalender Tionghoa tetap berlangsung antara 29 dan 30 hari seperti sistem kalender Islam.
Namun, kemudian, akan ada bulan kabisat atau Lun Gwee. Lama bulan kabisat 29-30 hari juga. Penambahan dilakukan setiap 2,7 tahun sekali. Jadi, ada satu tahun dalam kalender Tionghoa yang punya 13 bulan. Dengan cara itu, selisih 11 hari dengan kalender Masehi bisa diatasi, dan tahun baru Tionghoa tetap jatuh pada musim semi.
Cermin peradaban
Mengapa orang Tionghoa memasukkan unsur musim, sementara Islam melarang?
Penjelasannya bisa hanya mutlak pada faktor kepercayaan, tetapi juga bisa dibahas secara antropologis.
Secara kepercayaan, masyarakat Tionghoa punya keyakinan bahwa tahun baru harus jatuh pada musim semi, saat musim panen tiba. Musim semi dinilai sebagai momen keberuntungan.
Sementara itu, dalam Islam, memasukkan unsur musim seperti dilakukan dalam kalender Tionghoa atau masa Quraisy dianggap haram dan mengulur-ulur waktu.
Pelarangan itu termuat di dalam Al Quran surat At Taubah ayat 36 dan 37.
"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram...."
"Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran...."
Jika puas dengan penjelasan kepercayaan, mungkin kita lantas menghakimi budaya yang lain. Namun, jika memahami latar belakang budaya, kita bisa belajar tentang toleransi.
Bagi masyarakat Tionghoa, musim memang penting. "Tiongkok merupakan bangsa agraris. Jadi, memasukkan unsur musim itu penting," ungkap Hakim.
Sebaliknya, tanah Arab adalah gurun, tak mungkinlah bertani. Arab merupakan wilayah dagang sehingga musim menjadi tak terlalu penting bagi penduduknya.
Editor : Yunanto Wiji Utomo
Sumber : sains.kompas.com, 08 Pebruari 2016, 16:58 WIB.
Komentar
Posting Komentar