Mengenal Upacara Bakar Batu (Barapen), Tradisi "Perdamaian atau Peperangan" Dari Papua.


Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 2 Desember 2018 kita dikejutkan dengan berita pembunuhan 19 pekerja dan 1 tentara TNI di Distrik Mbua, Kabupaten Nduga, menuju ke Wamena, Ibukota Kabupaten Jayawijaya, Papua. Dari kesaksian korban selamat Jimmi Aritonang merupakan salah satu pekerja PT Istaka Karya yang berhasil selamat dari pembunuhan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata ( KKB) di Nduga, Papua.

Jimmi telah dievakuasi dari Distrik Mbua, Kabupaten Nduga, menuju ke Wamena, Ibukota Kabupaten Jayawijaya, Papua. Jimmi adalah salah satu dari puluhan pekerja pembangunan jembatan di Kali Yigi-Kali Aurak, Distrik Yigi, Kabupaten Nduga yang sebagian dikabarkan tewas dibunuh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Dari keterangan Jimmi kepada aparat penegak hukum, pada tanggal 1 Desember 2018 seluruh karyawan PT Istaka Karya memutuskan untuk tidak bekerja karena pada hari itu.

Mereka libur karena ada upacara peringatan yang diklaim sebagai HUT Tentara Pembebasan Nasional (TPN) Organisasi Papua Merdeka (OPM), yaitu 1 Desember. Upacara tersebut dilaksanakan kelompok KKB dan dimeriahkan dengan upacara bakar batu bersama masyarakat.

Melalui artikel ini mari kita belajar bersama apakah itu upacara bakar batu tersebut, sebagai salah satu kekayaaan tradisi suku  bangsa dari tanah Papua, saudara kita.


Mengenal Upacara Bakar Batu (Barapen).



Banyak suku di Papua yang masih memegang teguh tradisi yang diwariskan nenek moyang. Salah satunya adalah tradisi bakar batu.

Sekilas memang mengherankan. Untuk apa repot-repot membakar batu?
Tentu, membakar batu di Papua bukan dilakukan karena iseng. Masih dilangsungkan oleh suku-suku yang menghuni Lembah Baliem, Paniai, Nabire, Pegunungan Tengah, Pegunungan Bintang, Jayawijaya, Dekai, Yahukimo, dan daerah lain, tradisi batu bakar merupakan bentuk rasa syukur. Selain sebagai bentuk rasa syukur, tradisi bakar batu juga diyakini dapat menguatkan rasa kebersamaan. Warga yang terlibat akan merasa lebih dekat dengan proses memasak bersama.

Ritual itu dilakukan untuk mengumpulkan warga satu kampung dan prajurit perang untuk bersama-sama bersyukur dan berbahagia. Batu yang telah dibakar hingga membara digunakan untuk memasak daging babi hasil buruan.


Tradisi bakar batu merupakan salah satu tradisi penting di Papua yang berupa ritual memasak bersama-sama warga satu kampung yang bertujuan untuk bersyukur, bersilaturahim (mengumpulkan sanak saudara dan kerabat, menyambut kebahagiaan (kelahiran, perkawinan adat, penobatan kepala suku), atau untuk mengumpulkan prajurit untuk berperang. Tradisi Bakar Batu umumnya dilakukan oleh suku pedalaman/pegunungan, seperti di Lembah Baliem, Paniai, Nabire, Pegunungan Tengah, Pegunungan Bintang, Jayawijaya, Dekai, Yahukimo dll.

Disebut Bakar Batu karena benar-benar batu dibakar hingga panas membara, kemudian ditumpuk di atas makanan yang akan dimasak. Namun di masing-masing tempat/suku, disebut dengan berbagai nama, misalnya Gapiia (Paniai), Kit Oba Isogoa (Wamena), atau Barapen (Jayawijaya).


Sebutan Lain Upacara Bakar Batu.

Upacara unik ini tidak hanya memiliki satu sebutan, misalnya bagi masyarakat Paniai menyebutnya dengan Gapiia dan masyarakat Wamena menyebutnya dengan Kit Oba Isogoa.


Ritual Upacara Bakar Batu (Barapen).


Tradisi ini dimulai dengan penyerahan babi sebagai persembahan oleh masing-masing kelompok suku, sebagian orang akan menari, lalu sebagian orang akan menyiapkan batu dan kayu.


Persiapan yang dilakukan, yaitu mempersiapkan batu yang dipanaskan terlebih dahulu. Batu ini banyak diambil di sungai atau kali. Namun, tak sembarang batu kali biasa. Batu yang diambil harus bertekstur keras dan tidak mudah hancur.


Babi yang akan dimasak tidak langsung disembelih, tapi dipanah terlebih dahulu. Bila babi langsung mati, maka pertanda acara akan sukses, tapi bila tidak langsung mati, maka pertanda acara tidak bakalan sukses. Setelah matang, biasanya setelah dimasak selama 1 jam, semua anggota suku berkumpul dan membagi makanan untuk dimakan bersama di lapangan tengah kampung, sehingga bisa mengangkat solidaritas dan kebersamaan rakyat Papua.

Awalnya batu akan ditumpuk hingga sedemikian rupa kemudian dibakar hingga menjadi batu menjadi panas. Setelah batu tadi sudah panas, hal yang mereka lakukan selanjutnya adalah memasak babi persembahan tadi.

Para lelaki dari suku ini bertugas menggali lubang yang cukup dalam, kemudian batu panas tadi dimasukkan ke dalam lubang yang sudah diberi alas daun pisang dan alang-alang. Daun pisang dan alang-alang itu berguna untuk menghalangi uap panas pada batu agar tidak menghilang dan menguap.

Para lelaki bertugas memotong babi yang masih utuh menjadi beberapa bagian. Daging babi yang sudah dipotong ditaruh di atas rerumputan atau beralaskan daun pisang. Anak laki-laki juga ikut membantu memotong dan membersihkan daging babi dari darah.

Sementara itu, para wanita bertugas memoton sayuran dan mempersiapkan rerumputan juga ilalang untuk proses bakar batu.

Selain itu, para lelaki juga menggali lubang untuk menaruh daging babi yang akan dibakar nanti. Artinya, seluruh daging babi yang digunakan dalam upacara ini tidak dimasukkan dalam satu lubang.

Ada beberapa lubang yang dipakai. Ini demi memudahkan daging babi masak. Sebagai pelengkap makan daging babi, ubi dan sayuran juga tengah dipersiapkan untuk dibakar.






Setelah segala persiapan selesai, batu panas yang dimasukkan ke dalam lubang. Lalu daging babi dipotong-potong, kemudian ditaruh di atas batu beralaskan daun pisang ke dalam lubang.

Di atas batu yang panas, ditambahkan dedaunan sebagai tempat untuk potongan babi, sayuran, dan ubi jalar diletakkan. Begitulah cara masyarakat di sana untuk memasak makanan, menggunakan batu panas untuk membuat makanan menjadi matang.


Batu panas yang dimasukkan dibawa menuju lubang menggunakan kayu atau bambu yang dibentuk seperti penjepit. Batu panas berwarna kehitaman dan berasap itu dibawa satu persatu.

Demi membakar semangat, masyarakat yang berada di lokasi meneriakkan semacam yel-yel. Mereka juga menari-nari dan bernyanyi. 

Video : "Upacara Bakar Batu-Nduga Papua"

Secara singkat ritual Upacara Bakar Batu sebagai berikut:
  1. batu ditumpuk di atas perapian dan dibakar sampai kayu bakar habis terbakar dan batu menjadi panas (kadang sampai merah membara.
  2. bersamaan dengan itu, warga yg lain menggali lubang yang cukup dalam
  3. batu panas tadi dimasukkan ke dasar lubang yg sudah diberi alas daun pisang dan alang-alang
  4. di atas batu panas itu ditumpuklah daun pisang, dan di atasnya diletakkan daging babi yg sudah diiris-iris
  5. di atas daging babi ditutup daun pisang, kemudian di atasnya diletakkan batu panas lagi dan ditutup daun
  6. di atas daun, ditaruh ubi jalar (batatas), singkong (hipere), dan sayur2an lainya dan ditutup daun lagi
  7. di atas daun paling atas ditumpuk lagi batu panas dan terakhir ditutup daun pisang dan alang2.

Proses daging babi matang memakan waktu 4 jam. Selama itu, masyarakat tetap menunggu di lokasi. Meski panas cukup terik, mereka rela menunggu daging babi matang.


Setelah makanan sudah matang, semua orang berkumpul dalam kelompoknya masing-masing lalu mulai makan bersama. Mereka percaya bahwa tradisi seperti ini dapat menciptakan kebersamaan dalam diri setiap orang.

Masyarakat sangat antusias menyambut daging babi hasil upacara bakar batu yang matang. Daging babi yang matang akan dipotong-potong lagi dan dibagi rata. Tidak ada namanya saling berebut lantas ada masyarakat yang tidak mendapat jatah.

Pembagian daging babi dilakukan adil. Di lokasi upacara bakar batu, masyarakat duduk berkelompok. Adanya kelompok yang terbagi ini akan memudahkan pembagian daging babi.

Dalam kelompok tersebut, ada seorang koordinator. Dialah yang membagikan daging babi secara rata. Tiap orang mendapat jatah daging babi.

Yang menarik, jatah daging babi juga ikut dibagikan kepada seluruh orang yang hadir di lokasi acara. Bahkan tamu yang diundang pun ikut mendapatkan jatah daging babi.

Walaupun kami tidak melihat proses daging matang, kami juga diberi jatah daging babi. Daging babi matang ini berwarna putih hingga sedikit hitam karena terkena batu panas.

Hingga saat ini Tradisi Bakar Batu masih terus dilakukan dan berkembang juga untuk digunakan menyambut tamu2 penting yang berkunjung, seperti bupati, gubernur, Presiden dan tamu penting lainnya.


Kehalalan.


Di sebagian masyarakat pedalaman Papua yang beragama Islam atau saat menyambut tamu muslim, daging babi bisa diganti dengan daging ayam atau sapi atau kambing atau bisa pula dimasak secara terpisah dengan babi.

Hal seperti ini contohnya dipraktikkan oleh masyarakat adat Walesi di Kabupaten Jayawijaya untuk menyambut Bulan Ramadhan.

Penyusun : Yohanes Gitoyo, S Pd.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Alasan Mengapa "Wanita Cantik" Nikahi "Pria yang Kurang Menarik" ?

Inilah Kisah Lengkap Legenda Bharatayudha / Mahabharata.

Mengenal Rsi Byasa (IAS Vyāsa) Filsuf Kuno Terbesar di India, Penulis Kisah Mahabarata.

Mengenal Ludruk, Kesenian Khas Jawa Timur Yang Melegenda.

20 Karakter Game Wanita Yang Cantik Dan Seksi Karya Computer-Generated Imagery (CGI).

Orang Tua Wajib Tahu Perkembangan Anak.

Menguak Rahasia Isi Ruangan Dalam Ka'bah, Bangunan Tersuci Umat Islam

Segala Hal Tentang Punokawan Wayang.

Kurukshetra : Inilah Lokasi Tempat Terjadinya Pertempuran Besar "Mahabharata" atau "Barata Yudha", Apa Kabarnya Sekarang ?

Jika Naga Hidup di Dunia Nyata, Bagaimana Cara Mereka Semburkan Api?