Menguak Fenomena Topi Awan Misterius di Puncak Gunung Semeru atau Mahameru Kabupaten Lumajang, Jawa Timur
Puncak Gunung Semeru atau Mahameru di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur tertutup awan berbentuk topi pada Senin (10/12/2018).
Baru-baru ini warga dihebohkan dengan pemandangan gunung Semeru yang memiliki topi atau payung di puncaknya. Fenomena ini dibagikan oleh Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho pada Senin (10/11/2018) melalui akun twiternya, @Sutopo_PN. Menanggapi fenomena ini, Kepala Sub Bidang Prediksi Cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Agie Wandala Putra berkata bahwa fenomena ini disebut Altocumulus Lenticular.
“Jadi awan itu ada tiga: tinggi, menengah, dan rendah. Kalau awan rendah seperti awan CB itu rendah tapi menjulang ke atas, awan menengah seperti Altocumulus Lenticular, dan awan tinggi seperti awan Sirus yang bentuknya kaya bulu ayam,” papar Agie melalui sambungan telepon pada Selasa (11/12/2018).
"Disebut rendah menengah tinggi dilihat dari jarak ke permukaan," imbuhnya lagi.
Video : "How Do Lenticular Clouds Form?"
Dijelaskan oleh Agie, awan lentikular terbentuk saat udara bergerak melewati pegununungan, sehingga mendapat pendinginan yang cukup untuk terjadi kondensasi. Awan lentikular memiliki karakteristik yang spesial karena posisinya tidak bergerak layaknya awan jenis lainnya dan berbentuk padat.
Awan jenis ini dapat berada pada lokasi yang sama dalam periode yang lama karena dukungan udara yang naik di atas pegunungan secara berkelanjutan, yang selanjutnya terkondensasi dan menghasilkan awan.
Mengenai bentuknya, seringkali awan ini berbentuk menyerupai lensa atau lingkaran pipih seperti payung layaknya gambar yang tersebar di media sosial.
Hal ini karena awan lenticular dipengaruhi oleh topografi gunung dan tegak lurus terhadap arah angin. Agie mengatakan, awan jenis ini biasanya ditemui di sekitar area gunung.
Meski demikian, fenomena ini juga dapat terbentuk di atas dataran yang luas, karena perbedaan kecepatan angin pada berbagai lapisan akibat adanya pertemuan massa udara basah dan massa udara dingin.
“Jadi di gunung itu punya mekanisme gelombang gunung, gelombang ini salah satunya ya awan lentikular ini. Ini tipikal awan di gunung,” jelas Agie.
Secara umum, Agie menjelaskan bahwa fenomena ini tidak berbahaya bagi pendaki karena tidak terjadi badai di sekitar awan tersebut. Hanya saja, ia mewaspadai suhu udara yang menjadi lebih dingin dari biasanya karena suhu dingin menjadi salah satu pendukung pembentukan awan lentikular.
Video : "Mt.Rainier Lenticular Cloud Timelapse-2016.09.10"
Selain itu, fenomena awan lentikular ini juga menjadi kendala bagi penerbangan yang akan melewati daerah tersebut. Hal ini karena gelombang gunung dan pusaran angin yang kencang dapat menyebabkan turbulensi pada pesawat.
Mengesampingkan hal tersebut, Agie pun setuju dengan Sutopo bahwa sebaiknya, kita mensyukuri fenomena ini karena merupakan pemandangan yang sangat indah untuk diabadikan. Bahkan, Sutopo melalui posting-annya menyarankan untuk melakukan foto pre-wedding dengan latar belakang pemandangan fenomena awan lentikular ini.
“Coba alam nan indah ini dimanfaatkan buat foto pre-wedding. Mengabadikan masa indah saat mengikat cinta sebelum pelaminan. Alangkah indahnya. Hatimu akan selalu terayomi laksana awan lentikular itu. Meski cintamu saat ada turbulensi,” ungkap Sutopo pada kiriman Instagram-nya pada Selasa (11/12/2018).
Penulis : Bhakti Satrio Wicaksono
Editor : Shierine Wangsa Wibawa
Sumber : sains.kompas.com, 11 Desember 2018, 17:36 WIB.
Komentar
Posting Komentar