5 Kebutuhan Empati Anak Autis
ARTIKEL PENDIDIKAN
Autisme adalah gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada anak, yang gejalanya sudah timbul sebelum anak itu mencapai usia tiga tahun.
Penyebab autisme adalah gangguan neurobiologis yang mempengaruhi fungsi otak sedemikian rupa sehingga anak tidak mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara efektif. Gejala yang sangat menonjol adalah sikap anak yang cenderung tidak mempedulikan lingkungan dan orang-orang di sekitarnya, seolah menolak berkomunikasi dan berinteraksi, serta seakan hidup dalam dunianya sendiri. Anak autistik juga mengalami kesulitan dalam memahami bahasa dan berkomunikasi secara verbal.
Disamping itu seringkali (prilaku stimulasi diri) seperti berputar-putar, mengepak-ngepakan tangan seperti sayap, berjalan berjinjit dan lain sebagainya.
Penyebab autisme adalah gangguan neurobiologis yang mempengaruhi fungsi otak sedemikian rupa sehingga anak tidak mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara efektif. Gejala yang sangat menonjol adalah sikap anak yang cenderung tidak mempedulikan lingkungan dan orang-orang di sekitarnya, seolah menolak berkomunikasi dan berinteraksi, serta seakan hidup dalam dunianya sendiri. Anak autistik juga mengalami kesulitan dalam memahami bahasa dan berkomunikasi secara verbal.
Disamping itu seringkali (prilaku stimulasi diri) seperti berputar-putar, mengepak-ngepakan tangan seperti sayap, berjalan berjinjit dan lain sebagainya.
Gejala autisme sangat bervariasi. Sebagian anak berperilaku hiperaktif dan agresif atau menyakiti diri, tapi ada pula yang pasif. Mereka cenderung sangat sulit mengendalikan emosinya dan sering tempertantrum (menangis dan mengamuk). Kadang-kadang mereka menangis, tertawa atau marah-marah tanpa sebab yang jelas.
Selain berbeda dalam jenis gejalanya, intensitas gejala autisme juga berbeda-beda, dari sangat ringan sampai sangat berat.
Oleh karena banyaknya perbedaan-perbedaan tersebut di antara masing-masing individu, maka saat ini gangguan perkembangan ini lebih sering dikenal sebagai Autistic Spectrum Disorder (ASD) atau Gangguan Spektrum Autistik (GSA).
Autisme dapat terjadi pada siapa saja, tanpa membedakan warna kulit, status sosial ekonomi maupun pendidikan seseorang. Tidak semua individu ASD/GSA memiliki IQ yang rendah. Sebagian dari mereka dapat mencapai pendidikan di perguruan tinggi. Bahkan ada pula yang memiliki kemampuan luar biasa di bidang tertentu (musik, matematika, menggambar).
Prevalensi autisme menigkat dengan sangat mengkhawatirkan dari tahun ke tahun. Menurut Autism Research Institute di San Diego, jumlah individu autistik pada tahun 1987 diperkirakan 1:5000 anak. Jumlah ini meningkat dengan sangat pesat dan pada tahun 2005 sudah menjadi 1:160 anak. Di Indonesia belum ada data yang akurat oleh karena belum ada pusat registrasi untuk autisme. Namun diperkirakan angka di Indonesia pun mendekati angka di atas. Autisme lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita, dengan perbandingan 4:1
Deteksi Dini Autisme
Bila gejala autisme dapat dideteksi sejak dini dan kemudian dilakukan penanganan yang tepat dan intensif, kita dapat membantu anak autis untuk berkembang secara optimal.
Untuk dapat mengetahui gejala autisme sejak dini, telah dikembangkan suatu checklist yang dinamakan M-CHAT (Modified Checklist for Autism in Toddlers).
Berikut adalah pertanyaan penting bagi orangtua:
- Apakah anak anda tertarik pada anak-anak lain ?
- Apakah anak anda dapat menunjuk untuk memberitahu ketertarikannya pada sesuatu ?
- Apakah anak anda pernah membawa suatu benda untuk diperlihatkan pada orangtua ?
- Apakah anak anda dapat meniru tingkah laku anda ?
- Apakah anak anda berespon bila dipanggil namanya ?
- Bila anda menunjuk mainan dari jarak jauh, apakah anak anda akan melihat ke arah mainan tersebut ?
Bila jawaban anda TIDAK pada 2 pertanyaan atau lebih, maka anda sebaiknya berkonsultasi dengan profesional yang ahli dalam perkembangan anak dan mendalami bidang autisme.
Anak-anak penyandang spektrum autisme biasanya memperlihatkan setidaknya setengah dari daftar tanda-tanda yang disebutkan di bawah ini. Gejala-gejala autisme dapat berkisar dari ringan hingga berat dan intensitasnya berbeda antara masing-masing individu.
Hubungi profesional yang ahli dalam perkembangan anak dan mendalami bidang autisme, jika anda mencurigai anak anda memperlihatkan setidaknya separuh dari gejala-gejala ini :Sulit bersosialisasi dengan anak-anak lainnya | |
Tertawa atau tergelak tidak pada tempatnya | |
Tidak pernah atau jarang sekali kontak mata | |
Tidak peka terhadap rasa sakit | |
Lebih suka menyendiri; sifatnya agak menjauhkan diri. | |
Suka benda-benda yang berputar / memutarkan benda | |
Ketertarikan pada satu benda secara berlebihan | |
Hiperaktif/melakukan kegiatan fisik secara berlebihan atau malah tidak melakukan apapun (terlalu pendiam) | |
Kesulitan dalam mengutarakan kebutuhannya; suka menggunakan isyarat atau menunjuk dengan tangan daripada kata-kata | |
Menuntut hal yang sama; menentang perubahan atas hal-hal yang bersifat rutin | |
Tidak peduli bahaya | |
Menekuni permainan dengan cara aneh dalam waktu lama | |
Echolalia (mengulangi kata atau kalimat, tidak berbahasa biasa) | |
Tidak suka dipeluk (disayang) atau menyayangi | |
Tidak tanggap terhadap isyarat kata-kata; bersikap seperti orang tuli | |
Tidak berminat terhadap metode pengajaran yang biasa | |
Tentrums – suka mengamuk/memperlihatkan kesedihan tanpa alasan yang jelas | |
Kecakapan motorik kasar/motorik halus yang seimbang (seperti tidak mau menendang bola namun dapat menumpuk balok-balok) |
Catatan : Daftar di atas bukan pengganti diagnosa. Hubungi profesional yang ahli untuk memperoleh diagnosa lengkap
Orangtua yang memiliki anak penyandang autisme perlu bersabar, lebih peduli, memahami kebutuhan anak, berupaya tegas namun tidak keras, dan semuanya itu bisa dijalankan dengan berempati.
Psikiater, dr Kresno Mulyadi, SpKj, menyebutkan lima kebutuhan anak penyandang autisme, yang perlu diperhatikan lebih ekstra oleh orangtua juga keluarganya. "Dalam mengasuh dan merawat anak dengan autisme, kunci utamanya adalah empati," katanya kepada Kompas Female di sela acara peluncuran buku karangannya, Autism is Treatable, yang diterbitkan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi The London School of Public Relations Jakarta memeringati hari jadi LSPR Jakarta ke-19, di Jakarta, Minggu (10/7/2011).
Perlu dipahami, autisme merupakan suatu spektrum dengan rentang yang luas. Artinya ada autisme berat, sedang, ringan, dan sangat ringan. Semuanya bisa diterapi. Semuanya juga membutuhkan empati orangtua dalam mengasuh dan merawat anak autis.
Psikiater, dr Kresno Mulyadi, SpKj, menyebutkan lima kebutuhan anak penyandang autisme, yang perlu diperhatikan lebih ekstra oleh orangtua juga keluarganya. "Dalam mengasuh dan merawat anak dengan autisme, kunci utamanya adalah empati," katanya kepada Kompas Female di sela acara peluncuran buku karangannya, Autism is Treatable, yang diterbitkan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi The London School of Public Relations Jakarta memeringati hari jadi LSPR Jakarta ke-19, di Jakarta, Minggu (10/7/2011).
Perlu dipahami, autisme merupakan suatu spektrum dengan rentang yang luas. Artinya ada autisme berat, sedang, ringan, dan sangat ringan. Semuanya bisa diterapi. Semuanya juga membutuhkan empati orangtua dalam mengasuh dan merawat anak autis.
1. Komunikasi
Biasanya, yang terjadi pada pengasuhan anak dengan autisme adalah komunikasi yang tidak optimal antara anak autis dan orangtuanya. Setiap kali berkomunikasi dengan anak autis, orangtua perlu bersabar dan tidak menekan anak.
"Ajak anak bicara pelan-pelan, beritahu anak apa maksud Anda. Saat berkomunikasi, bisa jadi anak sedang berimajinasi, sehingga ia tidak menangkap pesan Anda saat itu. Jadi, bersabarlah, dan pahami kondisinya saat itu, ajak lagi ia berbicara agar maksud Anda tersampaikan dan diterima anak dengan baik," jelas motivator anak yang akrab disapa Kak Kresno ini.
2. Sosialisasi
Pada anak dengan autisme berat ia cenderung menyendiri, sedangkan anak dengan autisme ringan cenderung memberi kesan ia pilih-pilih terhadap sesuatu.
Sekali lagi, pesan Kak Kresno, kenali autisme pada anak, dan jangan melarang anak melakukan apa yang disukainya atau membuatnya nyaman. Temani anak dalam berkegiatan, usahakan jangan ada pemaksaan. Jangan juga memberikan labeling pada anak ketika ia melakukan sesuatu yang menurut kebanyakan orang, aneh. Pahami kondisi anak Anda, berempati lah atasnya.
3. Emosi
Anak penyandang autisme memiliki emosi yang labil. Ia mudah marah, takut yang tidak rasional, tertawa berlebihan, jelas Kak Kresno. Namun jangan pernah menganggap perilaku anak autis sebagai sesuatu yang aneh.
Sebagai orangtua, Anda perlu memperlakukan anak autis dengan lebih bijak. Pahami emosinya. Bagaimana pun anak autis memiliki perasaan yang peka. Ia bisa sangat peka, namun juga bisa tidak punya empati sama sekali. Perlakuan orangtua atau keluarga yang keliru atas emosinya, berdampak pada anak autis.
"Dengan tidak memahami emosi, tidak berempati atas emosi anak autis, konsep dirinya akan jatuh. Sama seperti anak pada umumnya, ketika ia diberi label, maka ia justru akan menjadi seperti yang dilabelkan kepadanya. Jika mengatakan anak nakal, maka ia akan benar-benar bersikap nakal," jelas Kak Kresno.
4. Repetitif
Anak penyandang autisme cenderung melakukan sesuatu yang disenanginya secara berulang. Lagu yang disukainya diputarnya berulang kali. Makanan yang disukainya akan terus menerus dikonsumsinya setiap kali ia lapar. Pakaian yang disenanginya akan terus dipilihnya, cuci pakai berulang-ulang,
"Perilaku repetitif ini dialami sejumlah anak penyandang autisme. Tugas orangtua adalah mengenalkan hal lain yang berbeda kepadanya. Kalau anak belum mau, tidak apa, jangan dipaksa, namun jangan juga memberikan labeling kepada anak atas perilaku repetitifnya," lanjutnya.
5. Persepsi
Anak autis kerapkali tidak nyaman dengan penginderaannya. Ia tak menyukai suara tertentu yang didengarnya. Matanya tak nyaman saat memandang sinar tertentu. Orangtua perlu berempati dan memahami kondisi ini.
"Orangtua perlu menyikapi dengan cara yang tepat. Sabar, berempati, namun tidak memanjakan. Berupaya tegas namun tidak keras," tandas Kak Kresno.
Biasanya, yang terjadi pada pengasuhan anak dengan autisme adalah komunikasi yang tidak optimal antara anak autis dan orangtuanya. Setiap kali berkomunikasi dengan anak autis, orangtua perlu bersabar dan tidak menekan anak.
"Ajak anak bicara pelan-pelan, beritahu anak apa maksud Anda. Saat berkomunikasi, bisa jadi anak sedang berimajinasi, sehingga ia tidak menangkap pesan Anda saat itu. Jadi, bersabarlah, dan pahami kondisinya saat itu, ajak lagi ia berbicara agar maksud Anda tersampaikan dan diterima anak dengan baik," jelas motivator anak yang akrab disapa Kak Kresno ini.
2. Sosialisasi
Pada anak dengan autisme berat ia cenderung menyendiri, sedangkan anak dengan autisme ringan cenderung memberi kesan ia pilih-pilih terhadap sesuatu.
Sekali lagi, pesan Kak Kresno, kenali autisme pada anak, dan jangan melarang anak melakukan apa yang disukainya atau membuatnya nyaman. Temani anak dalam berkegiatan, usahakan jangan ada pemaksaan. Jangan juga memberikan labeling pada anak ketika ia melakukan sesuatu yang menurut kebanyakan orang, aneh. Pahami kondisi anak Anda, berempati lah atasnya.
3. Emosi
Anak penyandang autisme memiliki emosi yang labil. Ia mudah marah, takut yang tidak rasional, tertawa berlebihan, jelas Kak Kresno. Namun jangan pernah menganggap perilaku anak autis sebagai sesuatu yang aneh.
Sebagai orangtua, Anda perlu memperlakukan anak autis dengan lebih bijak. Pahami emosinya. Bagaimana pun anak autis memiliki perasaan yang peka. Ia bisa sangat peka, namun juga bisa tidak punya empati sama sekali. Perlakuan orangtua atau keluarga yang keliru atas emosinya, berdampak pada anak autis.
"Dengan tidak memahami emosi, tidak berempati atas emosi anak autis, konsep dirinya akan jatuh. Sama seperti anak pada umumnya, ketika ia diberi label, maka ia justru akan menjadi seperti yang dilabelkan kepadanya. Jika mengatakan anak nakal, maka ia akan benar-benar bersikap nakal," jelas Kak Kresno.
4. Repetitif
Anak penyandang autisme cenderung melakukan sesuatu yang disenanginya secara berulang. Lagu yang disukainya diputarnya berulang kali. Makanan yang disukainya akan terus menerus dikonsumsinya setiap kali ia lapar. Pakaian yang disenanginya akan terus dipilihnya, cuci pakai berulang-ulang,
"Perilaku repetitif ini dialami sejumlah anak penyandang autisme. Tugas orangtua adalah mengenalkan hal lain yang berbeda kepadanya. Kalau anak belum mau, tidak apa, jangan dipaksa, namun jangan juga memberikan labeling kepada anak atas perilaku repetitifnya," lanjutnya.
5. Persepsi
Anak autis kerapkali tidak nyaman dengan penginderaannya. Ia tak menyukai suara tertentu yang didengarnya. Matanya tak nyaman saat memandang sinar tertentu. Orangtua perlu berempati dan memahami kondisi ini.
"Orangtua perlu menyikapi dengan cara yang tepat. Sabar, berempati, namun tidak memanjakan. Berupaya tegas namun tidak keras," tandas Kak Kresno.
Sumber :
- http://female.kompas.com/, Wardah Fazriyati, Minggu, 10 Juli 2011, 17:25 WIB
- http://www.autis.info/, Minggu, 24 Mei 2009 23:30
Komentar
Posting Komentar