"Anak yang Terbaring Sakit di Sepeda Itu Selalu Ikut Ayahnya".
Sapto
Sunardo membawa anaknya yang sakit di setang sepeda, melintas di Jalan
Jagakarsa, Jakarta Selatan, Rabu (15/5/2013). Anaknya yang berusia 4
tahun sakit dan dibaringkan di setang sepeda serta ditutupi kantong
kresek hitam dan kaki menjuntai di depan setang sepeda bututnya.
Hari
masih pagi ketika Soekarna mengayuh sepedanya dengan perlahan di Jalan
Jagakarsa, Kelurahan Jagakarsa, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan,
Rabu (15/5/2013). Soekarna harus berhati-hati membawa sepedanya karena
anaknya yang berumur empat tahun terbaring di setang sepedanya.
Selembar plastik hitam menutupi badan bocah itu untuk melindungi dari curahan air hujan, yang saat itu gerimis mengguyur jalanan Ibu Kota yang dilewati Soekarna. Kaki mungil sang anak terjuntai tak bertenaga di atas tumpukan kertas yang menjadi alas badannya.
Seorang pengendara motor berjalan lambat sejajar kepada Soekarna. "Maaf pak, kenapa anaknya kok ditutup kantung keresek?" tanya si pengendara motor.
Dengan lirih, Soekarna menjawab, "Anak saya sakit, tapi saya tidak punya uang." Terpancar ekspresi kebingungan di raut wajahnya.
Selembar plastik hitam menutupi badan bocah itu untuk melindungi dari curahan air hujan, yang saat itu gerimis mengguyur jalanan Ibu Kota yang dilewati Soekarna. Kaki mungil sang anak terjuntai tak bertenaga di atas tumpukan kertas yang menjadi alas badannya.
Seorang pengendara motor berjalan lambat sejajar kepada Soekarna. "Maaf pak, kenapa anaknya kok ditutup kantung keresek?" tanya si pengendara motor.
Dengan lirih, Soekarna menjawab, "Anak saya sakit, tapi saya tidak punya uang." Terpancar ekspresi kebingungan di raut wajahnya.
Lelaki itu kebingungan bagaimana mengobati anaknya yang sakit. Tak mudah memang bagi warga miskin seperti dirinya ketika didera masalah kesehatan. Si pengendara motor kemudian memberikan sedikit uang kepada Soekarna dengan tujuan agar anaknya yang sakit segera dibawa berobat.
"Darma enggak sakit parah, cuma meriang doang. Darma memang mau hujan mau panas selalu pengin saya, kecuali benar-benar sakit berat, baru saya tidak ajak," kata Sapto, Kamis (16/5/2013), saat dijumpai di rumahnya, Jalan Moh Kahfi 1 Gang Damai, Kelurahan Ciganjur, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Sapto mengakui, saat ini biaya rumah sakit memang semakin mahal. Oleh sebab itu, jika anaknya sakit, Sapto lebih senang memberi ramuan obat tradisional kepada anak-anaknya. "Enggak pernah ke dokter karena biaya dokter mahal. Jadi, pakai obat tradisional saja, daun sirih sama air hangat, terus diminumin," ujar bapak lima anak asal Solo, Jawa Tengah.
Anak
yang terbaring di depan setang sepeda di Jalan Jagakarsa, Jakarta
Selatan, itu selalu ingin ikut ke mana pun ayahnya pergi. Dalam kondisi
sakit sekalipun, ia ingin dekat dengan sang ayah.
Soekarna
terus mengayuh sepedanya, melaju dari arah Setu Babakan menuju Pasar
Minggu. Jika di bagian depan sepedanya terbaring anaknya yang sakit,
bagian belakang (boncengan) sepedanya penuh dengan berbagai barang
bawaan. Ada tumpukan kardus, sangkar burung yang telah rusak, dan sebuah
tas lusuh yang menemani perjalanannya.
Sapto
Sunardo saat memperlihatkan foto-foto anak bungsunya Darmawan Santoso
di telpon genggam miliknya pada Kamis (16/5/2013) saat dijumpai di
kediamannya
Anak itu bernama Darmawan Santoso (3). Ayahnya bernama Sapto Sunardo (bukan Soekarna seperti diberitakan sebelumnya). Sapto mengatakan, saat ini, anaknya memang sakit, tetapi hanya meriang biasa dan tidak perlu dibawa ke rumah sakit. Menurut Sapto, dia telah terbiasa membawa anak bungsunya itu selama ia bekerja setiap hari.
Dalam kesehariannya, Sapto berprofesi sebagai pedagang burung dan ikan hias keliling dengan menggunakan sepeda. Istri Sapto, Yunita Herawati, juga berprofesi sebagai pedagang keliling dengan menggunakan sepeda. Yunita menjual minuman susu fermentasi. Kesibukan Yunita inilah yang membuat Sapto tidak bisa meninggalkan Darma sendirian di rumah.
"Kalau kerja kantoran enak, mungkin kalau hujan bisa izin. Kalau dagang kan gak bisa, siapa yang mau gaji," kata pria lulusan S-1 jurusan Pertanian Universitas Slamet Riyadi, Solo.
Sapto dan Yunita telah memiliki lima anak dari pernikahan mereka. Pasangan ini tinggal di rumah petak dengan dua kamar tidur dan berdempetan dengan rumah lain. Anak Sapto yang paling sulung saat ini telah duduk di kelas XII di SMK Negeri 41, tidak jauh dari rumahnya. Anak kedua duduk di bangku kelas I SMK, sedangkan anak ketiga masih kelas III SD dan yang keempat kelas I SD.
"Bentar lagi anak (sulung) saya pengumuman kelulusan, mudah-mudahan saja lulus terus nanti bisa kuliah," ucap Sapto.
Dalam kesehariannya, Sapto mengayuh sepedanya melewati Jalan Jagakarsa untuk menjual burung maupun ikan hias di kawasan Jalan Ampera. Kadang-kadang ia juga berjualan di Kemang. Di sepeda itu pula, ia menempatkan segala peralatan jualannya, termasuk kandang burung dan wadah ikan, di boncengan belakang sepeda.
Darma yang belum bersekolah juga ikut dengannya. Sapto membuatkan tempat khusus dari buntalan kain untuk tempat duduk anaknya. Tempat duduk untuk Darma ini diletakkan di depan setang sepeda butut milik Sapto. Fotografer Warta Kota, Adhy Kelana, sempat mengabadikan perjalanan Sapto di tengah suasana gerimis bersama Darma yang tengah berbaring di bantalan setang sepeda itu, Rabu (15/5/2013).
Tentang Sapto Sunardo.
Nama lelaki ini mendadak menyeruak di pemberitaan setelah fotonya menunggang sepeda ontel dengan anaknya terbaring di setang sepeda terpampang di sebuah media. Gambaran sosok dan kehidupan sederhananya bersama keluarga tak memperlihatkan bahwa mertuanya adalah seorang mantan diplomat. Ya, Isteri Sapto sebenarnya bukan berasal dari keluarga tidak mampu. Mertua Sapto adalah seorang diplomat. Sapto sendiri adalah seorang sarjana.
Dua
foto yang dipajang di ruang tamu di kediaman Sapto Sunardo. Di foto
sebelah kiri, merupakan foto paman Sapto yang sedang bersalaman dengan
Mantan Presiden Soeharto. Sedangkan foto di sebelahnya memperlihatkan
mertua Sapto yang sedang bersalaman dengan Mantan Wakil Presiden Tri
Sutrisno
"Saya tak ingin menggantungkan hidup pada mertua," kata Sapto saat dijumpai, Kamis (16/5/2013). Dia mengaku ikhlas menjalani hidup sederhana asalkan dari keringat sendiri. Prinsip ini, menurut dia, dipahami betul oleh istrinya, Yunita Herawati. Biarlah, kata dia, hidupnya berjalan tanpa tergantung pada orang lain.
"Bapak istri saya diplomat, tapi ya biarlah orangtua mampu ya biar orangtua," ujar Sapto dengan lugas. Kalaupun di Jawa punya rumah banyak, kata dia, pada kenyataannya di Jakarta kehidupannya memang sederhana. Dia dan keluarga tinggal di Jalan Moh Kahfi 1, Gang Damai, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Bahkan Sapto enggan menyebutkan nama mertuanya yang mantan diplomat itu, pun membahasnya. Meski demikian, di dinding ruang tamu terpampang potret seseorang yang tengah bersalaman dengan mantan Wakil Presiden Try Sutrisno berlatar sebuah bandara. Sapto tidak menampik lelaki dalam potret itu adalah ayah sang istri.
Dalam foto lain di ruang yang sama, terlihat juga seorang lelaki tengah bersalaman dengan Presiden Soeharto. Sapto menyebut lelaki itu sebagai paman dari garis ibu, seorang kepala koperasi di Boyolali, Jawa Tengah. "Itu adik ibu saya," sebut dia.
Sarjana
Sosok keseharian Sapto juga tak menampakkan bahwa dia adalah seorang sarjana lulusan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Jawa Tengah. Insinyur pertanian adalah titel akademisnya. Biasanya orang hanya terkejut setiap kali dia menjelaskan soal ikan hias dan burung yang menjadi dagangannya.
"Karena pekerjaan saya seperti ini, orang tahunya saya tidak sekolah," kata Sapto. Setiap kali ada pembeli yang terkejut dengan penjelasannya yang detail ketika ditanya soal ikan dan burung, dia pun hanya diam. "Daripada bilang insinyur, tapi pekerjaannya begini."
Sapto dan Yunita memiliki lima anak. Si sulung kini duduk di kelas XII SMK 41, sedangkan anak kedua kelas X di sekolah yang sama. Lalu, anak ketiga masih duduk di bangku kelas III SD, aak keempat kelas I SD, dan si bungsu adalah Darmawan yang membuatnya mendadak terkenal itu.
Pilihan sikap hidup sepertinya masih akan membuat hari-hari Sapto seperti saat sebelum fotonya muncul di media massa. Lengkap dengan buntalan kain yang menjadi tempat duduk Darmawan di setang, si bungsu yang lengket ke mana pun bapaknya berada. Foto mereka berdua dari bidikan lensa fotografer harian Warta Kota Adhy Kelana, Rabu (15/5/2013), menjadi saksi bisu perjalanan hidup yang telah dipilih dan ditekuninya.
Penulis : Alsadad Rudi
Editor : Laksono Hari W
Sumber : http://megapolitan.kompas.com/, Kamis, 16 Mei 2013, 22:45 WIB.
Komentar
Posting Komentar