Mengenal Identifikasi Jenazah dengan Pencocokan DNA.
Jasad para korban jatuhnya pesawat AirAsia QZ 8501, Selasa (30/12), mulai ditemukan. Harapannya. upaya identifikasi berdasarkan manifes maskapai penerbangan dan laporan keluarga bisa dilakukan dengan mudah.
Dalam bencana massal seperti pesawat jatuh, upaya identifikasi korban dengan cara konvensional amat sulit dilakukan. Identifikasi yang mengandalkan kemiripan wajah, tinggi badan, tanda lahir, atau apa yang dikenakan korban tak bisa dilakukan karena jasad korban umumnya sudah sulit dikenali. Namun, ketika jasad sudah tak bisa lagi dikenali, pemeriksaan DNA akan mengungkapnya.
Identifikasi sebenarnya bisa dilakukan dengan mencocokkan informasi gigi. Namun, di Indonesia, pemeriksaan gigi belum membudaya sehingga identifikasi lewat ciri-ciri gigi sulit dilakukan. Karena itu, identifikasi korban bencana dengan pemeriksaan profil deoxyribonucleic acid (DNA) menjadi pilihan.
Menurut Guru Besar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Agus Purwadianto, Selasa, pemeriksaan dan pencocokan profil DNA korban dengan keluarganya adalah salah satu pilihan. Jika identifikasi bisa dilakukan dengan cara konvensional, pemeriksaan DNA tak perlu dilakukan.
Tim identifikasi akan merekonstruksi lebih dulu jasad korban secara keseluruhan dan mengelompokkannya. Jasad yang masih bisa dikenali dan dikonfirmasi kepada keluarga tak harus diperiksa DNA-nya. Namun, apabila jasad korban tak bisa lagi dikenali, pemeriksaan DNA menjadi pilihan. ”Meski jasad sudah membusuk, jaringan bisa diambil dan diamplifikasi untuk mendapat DNA-nya,” kata Agus.
DNA yang ada dalam sel memiliki informasi genetik individu yang spesifik. Meski jasad korban bencana sudah sulit dikenali, DNA dalam sel tetap utuh. ”DNA bisa diperoleh dari bagian-bagian tubuh seperti daging, tulang, bahkan rambut sekalipun,” kata Agus.
Jaringan tubuh yang didapat dari korban diisolat dan dibuat profilnya sebelum dicocokkan dengan profil DNA keluarga terdekat. Keluarga terdekat yang bisa jadi referensi adalah orang tua ataupun saudara kandung.
Upaya memperoleh DNA dari jasad korban dipengaruhi kondisi jaringan saat ditemukan. Sebab, inti sel yang mengandung DNA bisa rusak atau hilang karena busuk atau terbakar. Ketika DNA inti rusak, pemrofilan DNA bisa diperoleh dari DNA mitokondria (mtDNA) yang ada di luar inti. Nantinya, proses pencocokan mtDNA dilakukan dengan ibu.
Karena itu, setiap serpihan jasad korban harus diperiksa untuk mendapat data profil DNA akurat. ”Bisa jadi dari beberapa serpihan tubuh, DNA-nya sama. Artinya, itu berasal dari satu individu. Karena itu, kami harus periksa semua,” katanya.
Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Amin Soebandrio menjelaskan, pemeriksaan DNA tak membutuhkan laboratorium dengan tingkat keamanan biologis (biosecurity level) tinggi karena yang ditangani bukan mikroba berbahaya. Laboratorium dengan fasilitas molekuler dasar seperti polymerase chain reaction (PCR) bisa untuk memeriksa DNA.
Setelah diambil dari sumbernya, sampel DNA diberi label lalu dibawa ke laboratorium DNA forensik. Selanjutnya, DNA diisolasi dan diamplifikasi, lalu dicampur dengan enzim dan bahan kimia. Setelah diperbanyak, DNA akan dipisahkan dalam medan listrik. Sampel DNA lalu dicocokkan dengan sampel dari keluarga, terutama orangtua.
Mengingat banyaknya jumlah korban, perlu tenaga terlatih dan berpengalaman untuk membuat profil DNA dan mencocokkan dengan referensi yang ada. Sebagai gambaran, pengungkapan pelaku bom Australia tahun 2004 melalui pemeriksaan DNA butuh waktu sekitar dua minggu.
Anggota Tim Disaster Victim Identification (DVI) Dr. Budi Sampurna mengatakan bila jenazah korban pesawat Air Asia QZ 8501 sudah mengalami kerusakan salah satu cara proses identifikasi yang tetap bisa dilakukan adalah pencocokan DNA (deoxyribonucleic acid).
Budi mengatakan mengingat jenazah yang sudah beberapa hari di laut tentu akan mengalami kerusakan. "DNA bisa bertahan 100 tahun," kata Budi, dalam konferensi pers di Mapolda Jawa Timur, Surabaya, Sabtu (3/1).
Profesor Forensik dari Universitas Indonesia itu mengatakan selain pencocokan DNA pemeriksaan gigi dan sidik jari tetap dilakukan. Budi menegaskan sampai saat ini seluruh proses dan metode identifikasi terus dilakukan.
Identifikasi Jenazah Menteri Kesehatan Dr. Nila Moeloek mengatakan hal yang senada. Nila mengatakan kemungkinan besar jenazah sudah rusak semakin besar. Yang bisa dilakukan mengidentifikasi organ atau data yang bertahan cukup lama seperti gigi dan pemeriksaan DNA.
Sebelumnya. Kepala Bagian Dokkes Polda Jatim Kombes Pol Budi Yono mengatakan Tim DVI dilengkapai ahli dari dalam dan luar negeri. Tim ahli dari berbagai Universitas di Indonesia turut membantu proses identifikasi ini.
Beberapa negara sahabat seperti Korea Selatan dan Singapura ikut menyumbangkan tim ahlinya. Ia yakin tim DVI dapat mengidentifikasi semua jenazah. "Keluarga bisa mempercayakan identifikasi ke Tim DVI," kata Budi.
DNA (deoxyribonucleic acid) atau asam deoksiribonukleat adalah sejenis biomolekul yang menyimpan dan menyandi instruksi-instruksi genetika setiap organisme. Setiap orang memiliki DNA yang unik, seperti halnya sidik jari. Karena itu, pengujian DNA menjadi salah satu cara untuk mengidentifikasi jenazah yang tidak dikenal.
Saat terjadi sebuah bencana, jenazah korban yang ditemukan tidak selalu utuh. Dalam kondisi seperti ini, identifikasi melalui DNA menjadi cara terbaik. Menurut Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Prof Amin Soebandrio, identifikasi jenazah dengan menggunakan DNA memiliki tingkat keakuratan yang sangat tinggi, yakni mencapai 99,9 persen, seperti dikutip dari detikHealth, Rabu (31/12).
Bagaimana prosedurnya?
Pertama-tama, tim forensik akan mengambil sampel DNA dari keluarga sedarah, lalu mengisolasi dan memperbanyak DNA, memisahkan berdasarkan muatannya secara elektroforesis, dan terakhir pembacaan. Proses ini biasanya hanya membutuhkan satu hari, namun proses analisis dan pembuatan laporan bisa memakan waktu lebih lama.
Proses yang cukup sulit dalam pengujian DNA adalah isolasi. Tempat yang lembap dan banyak jamur menyulitkan dalam isolasi DNA, sebab DNA lain bisa mengintervensi. Misalnya untuk mengidentifikasi jenazah seseorang di kuburan massal akan menemui kesulitan karena telah bercampur dengan jenazah lainnya. Maka itu, sumber DNA yang digunakan adalah tulang.
Untuk mengisolasi DNA, penyidik ataupun peneliti mengambil sumber DNA, misalnya dari darah. Kemudian darah merah dan darah putih dipecah membrannya. DNA tersebut akan diperbanyak hingga jutaan kali. Proses pengkopian ini menggunakan prinsip alamiah, sebagaimana DNA di dalam tubuh manusia yang juga diperbanyak. Bahan untuk memperbanyak DNA harus sama dengan yang digunakan di tubuh.
Semakin banyak sampel yang diambil maka DNA yang diperoleh akan semakin banyak. Namun, DNA untuk forensik tidak perlu banyak-banyak. Setitik darah saja sudah bisa dijadikan bahan untuk mengidentifikasi.
"Kalau masih baru (jenazahnya) biasanya masih mudah (diidentifikasi dengan DNA). Kalau kasus pembunuhan juga biasanya enggak sulit. Yang sulit itu kalau sudah lama, sudah membusuk, dan ini juga tergantung di mana jenazah ditemukan," kata Herawati Sudoyo, dokter, peneliti, dan penganalisa DNA forensik dari Lembaga Biologi Molekul Eijikman, dilansir dari detikHealth.
Menurut Hera, sampel DNA bisa berasal dari bagian tubuh mana saja, mulai dari darah, mukosa pipi, saliva (air liur), hingga sperma. Namun, darah paling banyak digunakan karena relatif lebih mudah mendapatkannya pada orang yang hidup. Sedangkan untuk jenazah, jika kondisinya sudah membusuk sehingga jaringan lunak atau dalam rusak, tes DNA masih bisa dilakukan menggunakan tulang.
Untuk melakukan uji DNA melalui darah, tim forensik harus memiliki sampel dari keluarga kandung. Yang terbaik adalah sampel dari orang tua, atau keluarga sedarah seperti kakak atau adik.
"Tapi kalau (kondisi) fisik masih utuh, enggak perlu dilakukan identifikasi melalui DNA," katanya.
Penyusun : Yohanes Gitoyo, S Pd.
Sumber:
Komentar
Posting Komentar