Saat Anak Dinakali Temannya, Haruskah Diajari Membalas ?


Selasa kemarin saat pulang sekolah, putra sulung saya, Danish (8) menunjukan wajah kesalnya. Saya bingung, tak seperti biasanya ia memasang wajah sedemikian angkernya.

Saat saya tanyakan ada apa dengannya, ia menjawab dengan penuh emosi. “Aku sedang kesal, Ma! Hampir setiap hari aku dijahilin teman-temanku di kelas. Tadi itu Abu, Oki dan Noval menusuk-nusuk perutku dengan pensil tajam! Aku mau lawan mereka tapi mereka bertiga!” Jawab Danish sambil terus bersungut-sungut.

Saya terkesima dengan cerita Danish, apalagi melihat wajahnya yang masih memerah menahan amarah. Saya berusaha menenangkan hatinya. Bisa dimaklumi bila Danish marah dan sedemikian tak terimanya dengan perlakuan teman-temannya itu.

Menurut Danish, ketiga temannya itu seringkali berbuat nakal terhadapnya. Mereka juga seringkali menyembunyikan alat-alat tulis atau sendal untuk sholat, juga melemparkan topi Danish. Danish yang cenderung kalem di kelas mungkin dianggap bisa jadi sasaran empuk untuk dijahili.

Mendengar semua cerita Danish, sebenarnya sebagai ibu, saya merasa tak terima buah hati saya diperlakukan demikian. Saya pun meminta Danish agar melaporkan kenakalan teman-teman itu kepada Teacher Taruf, wali kelasnya.

Danish mengaku ia seringkali meneriakan ulah ketiga temannya itu kepada pak Taruf. Namun sayangnya, pengaduan Danish tak cepat mendapat respon. Mungkin pak Taruf menganggap kenakalan anak-anak itu adalah hal yang biasa karena sering ia temui.

Di dalam hati ingin sekali saya berpesan kepada Danish, “jika kamu dinakali temanmu, lawanlah! Balaslah dengan perbuatan serupa!” Namun saya urungkan. Saya khawatir, bagaimana jika hal itu saya ajarkan kepadanya, bukan tidak mungkin ia akan tumbuh menjadi anak yang pendendam.

Sekalipun perilaku nakal teman-teman Danish masih dalam taraf wajar untuk ukuran anak-anak seusianya, namun saya merasa perlu mengambil tindakan agar mereka jera tidak mengulangi perbuatannya.

Saya masih mencoba berpikir jernih menghadapi situasi itu. Terlihat Danish yang masih nampak sangat kesal. Kemudian saya membujuknya agar ia tenang, mencoba meyakinkannya bahwa masalahnya itu sebisa mungkin akan terselesaikan dengan baik.

Setelah berpikir bagaimana caranya mengatasi hal itu, saya pun memutuskan untuk melaporkan kejadian itu pada pak Taruf. Setidaknya, gurunya itu harus tahu bahwa ada perilaku anak didiknya yang sungguh meresahkan. Saya pun mengirimkan SMS kepada pak Taruf. Saya ceritakan tentang segala keluhan Danish selama ini terhadap kenakalan ketiga temannya.

Hanya dalam hitungan menit, pesan saya itu ternyata langsung mendapat respon. Pak Taruf berjanji akan menindaklanjuti laporan saya terhadap ketiga teman Danish. Bersyukur pak Taruf ternyata peduli dengan laporan saya. Ia juga berjanji akan menegur ketiga teman Danish itu agar mereka tak lagi mengganggu Danish.

Mengetahui hal itu, wajah Danish kembali tenang. Ia tak lagi menunjukan kemarahan. Saya pun berpesan agar lain kali ia menjauhi teman-teman yang berusaha mengganggunya. Sebisa mungkin ia menghindari berinteraksi dengan mereka agar tak menjadi sasaran aksi berikutnya.

Malam harinya, saya ceritakan kejadian itu kepada suami. Mendengar itu, naluri laki-lakinya seketika muncul. Ia langsung berkata kepada Danish agar Danish sebagai anak laki-laki memiliki wibawa dan harga diri. Bila dipukul temannya, Danish harus membela diri. Jangan hanya diam saja, apalagi sampai menangis! Anak laki-laki harus tangguh! Tidak boleh cengeng!

Danish terdiam mendengar ucapan ayahnya. Sejujurnya, saya sungguh memahami sikap tegas ayahnya. Ia kemudian mengusulkan agar Danish kembali melanjutnya ekskul Karate-nya. Bila Danish memiliki ilmu bela diri, tentulah akan berguna baginya bila dinakali teman-temannya.

Sungguh dilematis. Di satu sisi, ingin sekali saya mengajarkan ketangguhan seorang anak laki-laki ketika ia mendapat perlakuan tak menyenangkan agar ia bisa membela dirinya, salah satunya dengan membalas. Namun di sisi lain, saya khawatir, jika hal itu terjadi, ia akan belajar menjadi anak pendendam karena diajarkan untuk selalu membalas dengan perbuatan serupa.

Sejauh teman-teman Danish tak melakukan kekerasan fisik seperti memukul atau mencederai, saya masih bisa memaklumi kenakalan mereka. Namun tetap saja ulah mereka yang meresahkan itu harus mendapat peringatan dan teguran dari gurunya.

Kemudian saya sampaikan kepada suami, bahwa masalah Danish bisa diselesaikan dengan cara baik-baik tanpa harus saling membalas. Saya ceritakan bahwa pak Taruf berjanji akan menyelesaikan masalah Danish. Mendengar itu, emosi suami saya pun mereda. Terkadang kita perlu meredam emosi dengan berusaha berpikir tenang sekalipun di dalam hati sungguh membara.

Esok harinya Danish pulang sekolah dengan wajah riang. Saya tanyakan kepadanya apakah ketiga temannya itu kembali mengganggunya. Menurut Danish, ketiga temannya tak lagi mengusiknya. Saya berpikir mungkin saja pak Taruf sudah menegur ketiganya. Malah kata Danish, ia sekarang sudah berteman kembali dengan Noval. Itulah dunia anak-anak. Mereka bisa kembali rukun padahal mereka seringkali bersinggungan.

Mendengar itu, hati saya pun tenang. Hikmah yang saya ambil dari kejadian ini, ternyata bila kita berpikir jernih, semua masalah bisa teratasi dengan baik tanpa harus ada tindakan saling membalas dengan perbuatan serupa.


Bila kita mengajarkan buah hati kita dengan mengedepankan ego, tentulah kita sendiri takkan bisa berpikir sehat. Jika anak diajarkan membalas pukulan dengan pukulan, maka yang terjadi adalah perkelahian. Saat terjadi perkelahian, tentulah masing-masing orang tua akan ikut andil emosi karena merasa tak terima buah hatinya disakiti. Alhasil, kebencian pun akan tertanam di hati.

Satu hal yang harus kita ingat, mengalah bukan berarti kalah dan tak selamanya semua masalah bisa diselesaikan secara ‘jantan’. Masih banyak solusi lain yang jauh lebih elegan daripada harus saling berbaku-hantam. Karena hal itu hanya akan melahirkan permusuhan yang tak berkesudahan.

Penulis : EllaZulaeha
Sumber : http://edukasi.kompasiana.com/, Kamis, 05 April 2012, 05:31

Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Alasan Mengapa "Wanita Cantik" Nikahi "Pria yang Kurang Menarik" ?

Inilah Kisah Lengkap Legenda Bharatayudha / Mahabharata.

Mengenal Rsi Byasa (IAS Vyāsa) Filsuf Kuno Terbesar di India, Penulis Kisah Mahabarata.

Mengenal Ludruk, Kesenian Khas Jawa Timur Yang Melegenda.

20 Karakter Game Wanita Yang Cantik Dan Seksi Karya Computer-Generated Imagery (CGI).

Kurukshetra : Inilah Lokasi Tempat Terjadinya Pertempuran Besar "Mahabharata" atau "Barata Yudha", Apa Kabarnya Sekarang ?

Orang Tua Wajib Tahu Perkembangan Anak.

Menguak Rahasia Isi Ruangan Dalam Ka'bah, Bangunan Tersuci Umat Islam

Segala Hal Tentang Punokawan Wayang.

Makin Banyak Bayi Berkepala Peyang !!??