Kisah Seorang Anak Tentara...



Loreng Darah Mengalir.
Loreng berwarna gabungan antara hijau dan coklat juga warna merah menyala seperti darah
berarti : 
Selama darah masih mengalir dalam diri seorang prajurit, selama itu pula Kami setia berdiri untuk ibu pertiwi...



Siang itu menunjukkan pukul 13.00 WIB, gedung SMP 103 Cijantung terlihat lengang. Kegiatan belajar mengajar sudah dimulai. Seorang Bapak menengok puteri kecilnya dari jendela kelas. Berpakain Loreng Darah Mengalir secara lengkap beserta sepatu dinas lapangan dan baret merah mencolok, matanya tersenyum hangat ke arah seorang gadis kecil berambut keriting.


-------------


"Papah, apaan sih? Kaka kan udah besar! Gak perlu ditengok-tengok lagi sama Papah. Kaka udah bisa pulang sendiri, Pah!" Demikian sahut ketusku kepada Papah.

Saat itu usiaku baru menginjak 12 tahun. Keluarga kami baru saja pindah ke Cijantung dari desa kecil sebuah area pendidikan militer bernama Pakatto - sekitar 3 jam perjalanan dari kota Makassar, Sulawesi Selatan. Setelah lama berdinas di Kodam VII Wirabuana - Sulawesi, Ayahku ditarik masuk kembali ke Markas Besar Kopassus oleh Bapak Danjen yang pada jaman itu jabatannya dipegang oleh Mayjend TNI Prabowo Subianto.


Ayahku seorang prajurit infantri, kata lainnya adalah prajurit pembuka medan perang, seseorang yang berdiri di garis depan apabila negara berada pada keadaan Darurat 1, seorang prajurit yang mahir dengan strategi tempur gerilya dan tempur kota, seseorang yang juga dituntut untuk jitu menembak, juga terjun payung serta terampil bela diri dan memiliki daya tahan fisik tingkat tinggi. Ayahku seseorang yang berdiri di depan pasukan intelijen tempur memberikan dan juga sekaligus melaksanakan perintah. Pada baju dinasnya terdapat brevet Bintang Seroja, sebuah tanda jasa dari NKRI atas pengabdiannya setelah berperang demi nama Indonesia di Timor Leste. Ayahku yang pada dadanya tertempel brevet Komando, sebuah wing hirarki tertinggi di jajaran TNI AD karena pelatihannya yang terkenal paling brutal dan terberat sedunia, untuk mendapatkan brevet tersebut, Ayah dan semua prajurit terpilih lain mempertaruhkan nyawa mereka di hutan belantara Nusa Kambangan selama berbulan-bulan! Ayahku adalah seseorang yang memiliki kualifikasi 1-10, seorang prajurit Komando yang telah terlatih untuk mengalahkan 10 orang sekaligus dalam hitungan menit. Ayahku yang wajahnya kasar terbakar matahari, yang pada lengannya terdapat luka tembak, yang pada kakinya terdapat bekas-bekas luka. Ayahku adalah seorang pelaksana dari sumpah sakti Sapta Marga, seseorang yang menjunjung tinggi Merah Putih pada darahnya, seseorang yang berdiri untuk nama Indonesia. Ayahku adalah seorang prajurit berkulit hitam dengan badan tegap dan tatapan yang galak.

Namun belakangan ini, Ayah sudah tidak lagi segalak yang dulu. Mungkin karena aku sekarang sudah bukan anak kecil lagi. Aku sudah masuk bangku SMP, sudah bisa dibilang seorang gadis kecil. Mungkin juga Ayahku tidak segalak dulu karena semua hiruk pikuk kepindahan ini. Ini adalah kepindahan sekolahku yang ke 6 kalinya! Menjadi anak tentara berarti harus siap dengan konsekuensi untuk hidup nomaden, terus berpindah mengikuti SPRIN KSAD - Surat Perintah Kepala Staff Angkatan Darat yang ditujukan khusus untuk semua prajurit-prajurit TNI, tak terkecuali juga untuk Ayahku.

Hari ini adalah hari ke 14 aku bersekolah di Jakarta. Kepala sekolah mengatakan kepada Ayah bahwa seorang anak membutuhkan fondasi yang kuat dalam belajar, bila terlalu sering pindah, dikuatirkan anak tersebut akan mengalami keterlambatan menyerap pelajaran karena harus terlebih dahulu beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Sepertinya hal ini benar-benar membuat Ayahku kuatir, sehingga beliau memberikan perhatian lebih kepada anak-anaknya. Setiap siang, sering kulihat Ayah datang melihatku belajar dari jendela kelasku. Beliau ingin memastikan bahwa putri kecilnya ini baik-baik saja. Maklum, dulu karena Ayahku bertanggung jawab sebagai Wakil Komandan SECATA, kami pun turut menemaninya tinggal di Kompleks Pendidikan Militer di pelosok desa, jauh dari sentuhan kecanggihan teknologi.

Bersekolah di pelosok desa, beda jauh dengan pengalaman belajar di kota besar Jakarta. Babak baru adaptasiku untuk menyatu dengan gaya hidup masyarakat ibu kota Jakarta ini baru saja dimulai seiring dengan pertumbuhanku menjadi seorang remaja. Remaja yang sedikit keras kepala seperti hari ini saat aku melihat Ayahku lagi di sekolah.

"Papah, aku malu sama teman-teman kalau Papah datang terus ke sekolah!" Sungut-sungut wajahku bertekuk didepannya.

Ayahku yang pendiam itu hanya memandangku dengan tatapan matanya yang lembut. Dengan suara kecilnya yang lirih dia berkata: "Papah hanya mau check Kaka saja..."
Sejenak kemudian sosoknya berlalu menuju mobil dinas Chevroletnya yang gagah berwarna hijau.

Saat itu, aku masih terlalu kecil untuk mengerti maksud hati dari Ayah.... Yang jelas, aku tau bahwa Ayahku itu sungguh sayang kepadaku, hanya saja karena malu dilihat teman-teman sekelas bahwa Ayahku itu seorang tentara, aku sering acuh-tak-acuh mengenali ataupun menyambut rasa sayang tersebut...


------------


Lain waktu,  bila tidak salah ingat, saat itu sedang booming sepatu model "Mary Jane" berwarna hitam keluaran merk Gosh. Merengek-rengek kuminta sepatu model ini kepada Ayahku. Maka meskipun letih sehabis pulang kantor, Ayah yang masih memakai pakaian dinas lengkapnya mengantarku ke daerah Pondok Indah (saat itu, satu-satunya counter sepatu Gosh yang jaraknya paling dekat dengan rumahku berada di Mall Pondok Indah).

Aku :       "Aduh, Papah di mobil aja yah? Kaka bisa beli sendiri kok, Pah!"

Papah :   "Kenapa Kak? Papah mau antar Kaka..."

Aku :       "Gak mau! Papah tinggal di mobil aja, Kaka gak mau diliatin orang, gara-gara Papah pakai baju loreng ke Mall, ini kan PIM..."

Papah :   "......"


Ayahku yang sangar akhirnya dengan pasrah mengiyakan kemauan gadis kecilnya yang keras kepala ini.


-------------


Pada kesempatan lain, di suatu sore kulihat Ayahku memarkir mobil dinasnya didepan garasi rumah. Hari itu adalah hari selasa, Ayah baru saja pulang dari melatih anggota pasukannya dalam materi tempur darat. Aku dan adikku berlarian membuka pintu, menghambur kearahnya. Kedua lengan Ayah memeluk kami berdua. Terlihat baju lorengnya dipenuhi lumpur-lumpur. Sambil menutup hidung, serempak kami berkata:

"iiiihh baju Papah kotor, sepatunya banyak lumpur..."

Sejenak kulihat Ayahku terdiam. Raut wajahnya seolah ingin memeluk kami erat-erat. Sambil duduk, Ayah memanggil namaku dan nama adikku, begini katanya:

"Kaka Vero dan Ade Yola sekarang sudah besar, sudah pintar-pintar...
Kaka dan Ade sudah mengerti mana yang keren dan tidak,
Mungkin Papah ini termasuk yang tidak keren ya...
Baju loreng Papah ini kotor dan lusuh, tidak enak dipandang mata
Tidak seperti baju-baju yang bagus di iklan televisi,

Tapi Papah mau Kaka dan Ade tau, bahwa:
Baju loreng ini yang mengantar dan menemani Papah untuk membesarkan kalian
Dengan baju loreng ini, Kaka dan Ade dapat melihat dunia
Dunia yang luas tak terbatas...
Loreng ini yang membuat Kaka dan Ade bertumbuh, berkembang dan mekar menjadi bunga yang cantik...


Baju yang Papah pakai ini oleh Para Leluhur dan Pendiri Kopassus dinamakan: Loreng Darah Mengalir.
Loreng berwarna gabungan antara hijau dan coklat juga warna merah menyala seperti darah
Berarti: Selama darah masih mengalir dalam diri seorang prajurit, selama itu pula Kami setia berdiri untuk ibu pertiwi...

Seperti seorang prajurit yang setia kepada nusa dan bangsa,
Seperti itulah juga Papah setia untuk menjaga Kaka dan Ade...
Kalianlah yang telah membuat Papah berbangga mengenakan loreng ini...

Wajah Kaka dan Ade yang selalu mengasah pisau kesetiaan Papah selama ini...


--------------


Kami terdiam sesaat. Aku dan adikku tertegun. Tidak ada lagi bantahan. Kami berdua memeluk tubuhnya erat-erat. Semua rasaku bercampur disini...

Ayahku yang seorang prajurit telah menjelaskanku makna hidupnya
Ayahku yang berkulit hitam legam,
Yang setiap hari terpapar terik matahari,
Yang selama ini telah membanting tulangnya demi satu sikap:
Setia...


Pria yang berdiri didepanku dengan baju dan sepatu lars penuh lumpur ini adalah ayahku yang baru saja mendapat Bintang Kartika Eka Paksi, sebuah tanda jasa atas kesetiaannya mengabdi selama 20 tahun tanpa cacat cela kepada TNI AD.

Dia ayahku yang mengawali masa remajaku dengan konsistensi cintanya yang besar.
Dia ayahku yang mengawali pelajaran masa mudaku dengan satu filosofi bernama kesetiaan.
Dia ayahku yang membentuk mentalku dengan nilai-nilai luhurnya.

Dia ayahku yang kukasihi amat sangat, tanpa syarat apapun...


--------------


Sejak hari itu, tidak satupun kata keluar dari bibirku untuk membantah keinginan hatinya.
Hati dan tuturku santun menghormati keberadaannya.
Telah diredakannya semua sifat kerasku.
Telah ditundukkannya semua ideologi anehku lewat keluguan sikap hatinya. 
Telah diruntuhkannya seluruh ego duniaku dengan kepolosan ucapnya.

Dan sama seperti kata-katanya 12 tahun yang silam kepadaku, demikian pula ingin hatiku terus membalas semua rasa sayangnya kepadaku...

Nisyeworu, sang penulis dan ayahnya.

Selama darahku masih mengalir,
Selama itu pula akan kukasihi Ayahku...
Dalam tutur juga gerakku,
Kuabdikan seluruh hidupku ini hanya demi kebahagiaannya...

Semua hal yang terindah
Semua hal yang termanis
Semua hal yang paling harum didunia ini,
Akan selalu kutujukan kepada Ayahku tercinta...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Alasan Mengapa "Wanita Cantik" Nikahi "Pria yang Kurang Menarik" ?

Mengenal Ludruk, Kesenian Khas Jawa Timur Yang Melegenda.

Inilah Kisah Lengkap Legenda Bharatayudha / Mahabharata.

Prosedur dan Persyaratan Pengajuan Kredit Bank.

Jika Naga Hidup di Dunia Nyata, Bagaimana Cara Mereka Semburkan Api?

Menguak Rahasia Isi Ruangan Dalam Ka'bah, Bangunan Tersuci Umat Islam

Mengenal Rsi Byasa (IAS Vyāsa) Filsuf Kuno Terbesar di India, Penulis Kisah Mahabarata.

20 Karakter Game Wanita Yang Cantik Dan Seksi Karya Computer-Generated Imagery (CGI).

Inilah : Satyrichthys welchi, Ikan Asal Aceh Yang Bentuknya Seperti Pesawat Tempur Siluman !

10 Video Dokumenter (Asli) Pada Jaman Penjajahan Belanda, Jepang dan Perang Kemerdekaan Indonesia : 1945 - 1949.